Wednesday, February 27, 2013

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei


Biografi
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei
Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran

Dengan nama Allah, Maha Pengasih Maha Penyayang
Ayatullah Sayyid Khamenei, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, lahir tahun 1939 dari keluarga ulama dan pencinta ilmu di Masyhad, kota religius terbesar di Iran. Garis keturunannya bersambung hingga ke Imam Ali Bin Husain (‘alaihissalam), Leluhur Ayatullah Khamenei juga aktif di bidang politik, di samping beraktivitas di bidang keilmuan dan fikih.

Ayatullah Khamenei menerima pendidikan agamanya di Hauzah Ilmiah Masyhad dan Qum serta belajar di bawah bimbingan guru-guru besar Hauzah seperti Ayatullah Sayyid Hasan Borujerdi, Imam Khomenei (rahmatullahi’alaihi) dan Allamah Thabathaba’i sampai mencapai derajat ijtihad. Beliau mengajar teologi dan tafsir al-Quran di Masyhad dan saat ini beliau mengajar fikih Islam.

Dipengaruhi oleh ide-ide politik dan revolusioner dari aktivitas anti-Pahlevi Nawab Safavi, suatu lahan telah disiapkan bagi Ayatullah Khamenei untuk menjadi politiis selama masa mudanya. Ketika gerakan Islam di Iran dimulai pada tahun 1341 di bawah Kepemimpian Imam Khomenei (ra) dan keimanannya pada perlu perubahan sosial berdasarkan Islam, beliau memulai kegiatan politiknya yang berpusat pada peningkatan kesadaran masyarakat. Melalui berbagai pertemuan umum yang diaturnya, beliau melibatkan akal pendengarannya dengan isu-isu poiltik Iran dan Dunia Islam serta mendorong dan memperdalam ide-ide revolusioner dengan menyelenggarakan diskusi-diskusi keagamaan dalam bentuk baru dan menjeluk. Pada saat yang sama, seraya menyususn dan menerjamahkan sejumlah buku, beliau menguraikan ajaran Islam, tujuan musuh untuk menghadang Islam dan plot-plot dari kekuatan mustakbirin dan penjajah untuk memaksakan kemunduran pada masyarakat Islam. Sebagai hasil dari kegiatan ini, beliau berkali-kali ditangkap dan dipenjara dan mengalami berbagai jenis penganiayaan oleh rezim Pahlevi.

Meskipun mendapat permusuhan dari rezim Pahlevi, Ayatullah Khamenei memiliki pengetahuan agama, politik, sastra, seni, dan budaya atas Iran dan dunia. Kefasihan dan usaha kerja kerasnya untuk mempromosikan prinsip-prinsip gerakan Islam melalui penafsiran al-Quran dan Nahj al-Balaghah telah membuatnya memiliki kepribadian yang luar biasa dengan kedudukan mulia di antara orang-orang. Pada puncak perlawanan oleh orang-orang saleh dari Iran, Ayatullah Khamenei mengambil kepemimpinan perlawanan sipil di Masyhad dan Khorasan.

Selain memaparkan penindasan rezim Pahlevi dan mengelaborasikan tujuan pemerintahan Islam, Ayatullah Khamenei menyoroti perlunya membentuk sebuah pemerintahan Islam. Selama masa itu, beliau diangkat ke Dewan Revolusi Islam oleh Imam Khomeini (ra) dan setelah kemenangan revolusi Islam, beliau memegang posisi-posisi penting seperti masuk pada keanggotaan Dewan Revolusi Islam, anggota Ahli, ketua Dewan Tinggi Revolusi Budaya, Ketua Dewan Keamanan Nasional Tertinggi dan Presiden Republik Islam.

Ayatullah Khamenei adalah pendiri partai Republik Islam. Beliau mendirikan surat kabar Jomhouri-e Eslami, sebuah surat kabar umum pertama yang diterbitkan setelah kemenangan Revolusi Islam. Dari awal perang yang dipaksakan pada Iran dan Irak, Ayatullah Khamenei hadir di medan perang atas perintah Imam Khomenei. Beliau secara pribadi biasa pergi ke wilayah operasional dan mengejar hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan dan organisasi kekuatan, fasilitas dan operasi. Pada tanggal 27 Juni 1981, Ayatullah Khamenei selamat dari upaya pembunuhan oleh Munafikin-sebuah organisasi yang berafiliasi dengan musuh asing Iran-berkat doa orang-orang dan upaya para dokter. Tak lama setelah itu, beliau terpilih sebagai Presiden Republik Islam Iran dengan suara telak. Beliau terpilih kembali sebagai presiden dalam periode kedua pada tahun 1985 dan menjabat sebagai presiden sampai meninggalnya Imam Khomeini (ra).

Pengaturan organ-organ eksekutif megara secara sistematis, mengurus pengelolaan yang berkaitan dengan Pertahanan Suci, mengatur perjalan ke berbagai provinsi Iran untuk bertemu orang-orang secara pribadi, memberikan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi masyarakat, mengejar renaisans budaya dan melakukan upaya-upaya untuk membantu negara mencapai kemajuan yang komprehensif adalah sebagian dari pencapaian domestik yang dicapai Ayatullah Khamenei selama masa kepresidenannya.

Ayatullah Khamenei memainkan peran penting dalam membuka pintu untuk interaksi dengan negara-negara asing, hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional yang penting guna menjelaskan pandangan Republik Islam dan menanamkan semangat kepercayaan diri menjadi muslim dan orang-orang tertindas diseluruh dunia. Melawan kekuatan arogan dunia, mendukung gerakan perlawanan negara Palestina dan Lebanon, dan gerakan kemerdekaan dari Timur dan Barat termasuk bagian dari kebijakan pusat dan efektif Republik Islam di Front Internasional selama masa periode kepresidenan Ayatullah Khamenei.

Pidato Ayatullah Khamenei di Majelis Umum PBB ke 42 dan pidato di KTT ke-8 Gerakan Non-Blok di Harare tidak diragukan lagi adalah titik balik dalamsejarah hubungan luar negeri Iran. Dalam pidato-pidato tersebut, selain mengekspos kekuatan arogan dan kolonial, beliau menerangkan posisi dasar dan pandangan Republik Islam kepada wakil-wakil dari semua negara anggota.

Setelah wafatnya Imam Khomeini (ra) pada tanggal 13 Juni 1989, berdasarkan konstitusi, Majelis Ahli (yang anggotanya dipilih oleh rakya) memilih Ayatullah Khamenei sebagai Pemimpin Revolusi Islam. Setalah itu, masyarakat, para ulama, dan tokoh-tokoh agung Iran mendukung Ayatullah Khamenei dan bersumpah setia kepadanya. Kepemimpinan Ayatullah Khamenei di Iran telah menjadi era konsolidasi Republik Islam dan mengejar prestasi utama Revolusi Islam yang besar, yaitu keadilan, kemajuan yang komprehensif dan upaya luas untuk mengklarifikasikan kebenaran agama. Kepemimpinannya telah bertepatan dengan perkembangan internasional dan domestik yang penting. Dengan mengikuti rekomendasi-rekomendasinya, yang didasarkan pada ajaran Islam, Iran telah bergerak maju berhasil melalui jalur sulit meskipun dihadang berbagai konspirasi dari kekuatan arogan dan hegemonik, sebuah fakta yang di akui oleh para pengamat di seluruh Dunia. Selama periode ini, Republik Islam Iran telah memelihara dukungan rakyat dan telah menyelenggarakan lebih dari dua puluh pemilu, yang merupakan perwujudan dari demokrasi di Iran. Terlepas adri ekonomi, keamanan, tekanan politik dan budaya kekuatan dominan, Iran telah mencapai kemajuan yang luar biasa diberbagai bidang, termasuk pengembangan nanoteknologi, teknologi stem cell, kemajuan di bidang yang berkaitan dengan kedirgantaraan, pertahanan diri yang cukup dalam bidang ilmu nuklirm transformasi ekonomi dan mengeluarkan bakat orang-orang dan pemuda yang luar biasa di Iran, yang semua hasil inovasi Ayatullah Khomeini dan analisis menjeluk dan tajam tentang peran penting pengetahuan dalam dunia modern. Yang Mulia Seyyed Ali Khamenei percaya bahwa kemajuan ilmu pengetahuan adalah prasyarat untuk mencapai martabat, kehormatan, kesejahteraan dan kekuasaan di tingkat global. Beliau juga percaya bahwa Iran Islam memiliki misi ilmiah pengembangan ilmu pengetahuan, Iran harus berubah menjadi suatu otoritas di antara negara-negara Islam.

Selama kepemimpinan Ayatullah Khamenei, kebijakan luar negeri Republik Islam telah dibangun atas dasar kemandirian, swasembada, melawan kekuatan arogan, anti-Zionisme, mendukung gerakan pembebasan, memperhatikan isu-isu dunia dan negara-negara muslim, melakukan upaya mewujudkan kesatuan lebih jauh bagi Dunia Islam dan melakukan upaya untuk membangkitkan negara-negara Islam. Dalam anjuran-anjurannya, Ayatullah Khamenei telah memberikan perhatian khusus dan penekanan terhadap prinsip-prinsip ini, terutama Kebangkitan Islam seta persatuan dan solidaritas masyarakat muslim. Beliau selalu meminta masyarakat muslim untuk waspada menghadapi plot dan rencana kekuatan arogan dan kolonial, percaya bahwa satu-satunya cara untuk melahirkan martabat bagi umat muslim dunia dan kunci kemenangan bagi umat Islam adalah mempromosikan Islam Muhammad yang murni serta persatuan dan kohesi Islam. Perspektif ini telah menjadikan Iran sebagai fokus dan perhatian Internasional dan negara yang aktif dan berpengaruh di forum internasional.

Berdasar pengakuan dari musuh-musuh Republik Islam Iran, selama bertahun-tahun, Iran telah bergerak cepat menuju tujuan dengan kekuatan lebih daripada di masa lalu.

Bagaimana dengan pemimpin kita Indonesia? Kita harus tetap berusaha untuk membangun kebudayaan Indonesia yang telah terkenal dengan keramahan dan saling tolong menolong yang akhir-akhir ini sudah mulai pudar. Mari kita bangun Bangsa Indonesia dengan membangun generasi mendatang dengan kekuatan ilmu dan akhlak. Pemimpin Iran mereka mengetahui semua cabang ilmu dari ilmiah sampai ilmu agama itu lah yang kita contohkan karena sesungguhnya politik dan agama tidak terpisah tapi saling mendukung satu sama lainnya.


Sunday, February 24, 2013


Cerita cinta

Cinta adalah sebuah kata yang  banyak orang membicarakannya baik dikalangan tua maupun pada kalangan muda. Cinta tidak akan pernah habis-habisnya untuk dibicarakan karena banyak mengandung arti yang sangat luas dari masa kemasa. Betapa banyak kisah cinta yang begitu romantis yang dapat dijadikan pelajaran.
Arti cinta kali ini mengenai membicarakan tentang sebuah cinta yang dirasakan oleh anak muda (ABG) yang dimana mereka masih mencari-cari apa sebenarnya cinta itu. Mencari definisi yang tepat untuk bisa diungkapkan seperti kata Khalil Gibran kecantikan itu milik masa muda. Masa-masa muda adalah sebuah pencarian hebat dilakukan pencarian jatidiri ada yang lolos dan ada pula yang harus merasakan pahitnya melewati masa muda tersebut. Anak muda membutuhkan sebuah bimbingan untuk bisa melewati tahap-tahap yang begitu sulit yang mereka tau cinta = hubungan seks.
Seperti itulah yang saya pahami tentang makna cinta. Cinta adalah segalanya, segalanya yang berhubungan dengan dua insan manusia laki-laki dan perempuan yang sedang jatuh cinta, cinta seharusnya bisa mengorbankan segalanya yang dimiliki karena cinta mengenal pengorbanan untuk sebuah pembuktian.  Cinta adalah hubungan seks. Adakah makna lain yang tepat selain mengatakan cinta adalah hubungan seks? Saya tidak menemukan definisi lain tentang pengertian cinta selain sebuah hubungan seks untuk membuktikan arti cinta itu.
Ada yang mengatakan bahwa cinta dengan pembuktian hubungan seks bukanlah cinta sesungguhnya melainkan nafsu. Tapi buatku mereka salah karena nafsu adalah bagian dari cinta ketika kita mencintai sesuatu maka disitulah muncul nafsu, cintalah yang mendorong nafsu untuk keluar pada sarangnya dan mencari aktualnya, jadi pembuktian cinta adalah dengan hubungan seks. 

Saturday, February 23, 2013

Perempuan dalam Islam


Perempuan dalam Islam 
Perspektif Yang Benar Tentang Perempuan
Perempuan harus dipandang sebagai manusia yang bermartabat supaya terlihat bagaimana kesempurnaan perempuan serta apa hak dan kebebasannya. Perempuan harus dipandang sebagai entitas yang dapat menjadi aset bagi kemaslahatan masyarakat melalui proses pembinaan manusia-manusia luhur, supaya terlihat apa hak perempuan dan bagaimana kebebasannya. Perempuan harus dipandang sebagai elemen dasar rumah tangga yang meskipun eksistensinya sama-sama dibentuk dan diperani oleh laki-laki dan perempuan tetapi ketenangan dan ketentramannya sangat bergantung pada peran dan bawaan alamiah perempuan. Perempuan harus dipotret dengan lensa demikian agar terlihat bagaimana perempuan dapat menemukan kesempurnaannya dan dimana hak-haknya berada.
Kewajiban Menikmati Pendidikan
Kaum perempuan diperkenankan menikmati pendidikan tinggi. Salah besar anggapan sementara kalangan bahwa perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan. Perempuan justru juga harus mengenyam pendidikan yang berguna dan sesuai dengan minatnya. Masyarakatpun juga memerlukan keterdidikan kaum perempuan sebagaimana mereka memerlukan keterdidikan kaum laki. Hanya saja, zona pendidikan tentu harus sehat. Pergaulan tanpa norma dan etika antara laki-laki dan perempuan sama sekali bukan sesuatu yang niscaya bagi kelangsungan proses pendidikan. Pendidikan setinggi apapun tetap bisa dicapai dengan ketaatan terhadap norma. Membiasakan diri dengan membaca buku adalah salah cara yang sangat berguna bagi perempuan. Harus ditemukan metode inovatif supaya perempuan bisa menjadi kutu buku di dalam rumah. Buku adalah jendela ilmu yang tersedia bagi manusia agar dapat mengoleksi pengetahuan dan mengasah kecerdasan secara lebih optimal.
Pengetahuan adalah sesuatu yang sangat bernilai dan saya termasuk orang yang mengharapkan muslimat bisa tampil sebagai ilmuwan di semua bidang. Sebagian perempuan beranggapan bahwa jika perempuan dapat memilih suatu jurusan berkenaan dengan perempuan maka ia harus memilih jurusan yang lebih berkenaan dengan urusan medis kaum perempuan semisal bersalin. Padahal, kaum perempuan juga harus dapat berkiprah di semua bidang kesehatan, termasuk kesehatan jantung, organ dalam, jaringan saraf dan lain sebagainya. Belajar di jurusan apapun merupakan kewajiban syariat dan sosial.
Peranan Perempuan Dalam Pembangunan Nasional
Negara yang ingin menggalang pembangunan pada maknanya yang sejati harus lebih mengacu pada faktor sumber daya manusia (SDM). Ketika acuannya adalah SDM, praktis akan terbentuk kesadaran bahwa kaum perempuan adalah segmen yang menempati separuh populasi penduduk dan setengah dari ketersediaan SDM. Pembangunan yang sejati dalam skala yang komprehensif tidak mungkin akan terlaksana jika terjadi salah persepsi terhadap persoalan seputar perempuan. Kaum perempuan sendiri juga harus mengetahui perspektif Islam mengenai perempuan supaya mereka dapat membela hak mereka sepenuhnya berdasarkan ajaran Islam, sebagaimana semua anggota masyarakat negara Islam harus mengetahui pandangan agama ini tentang perempuan dan kiprahnya di semua lini kehidupan, termasuk pendidikan, keprofesian, aktivitas sosial, politik dan ekonomi atau kehidupan di dalam maupun di luar rumah tangga.
Sumber:http://indonesian.khamenei.ir/index.php


Friday, February 22, 2013

Ayatullah Murtadha Muthahhari


Biografi Singkat
Ayatullah Murtadha Muthahhari

Ayatullah Murtadha Muthahhari q.s adalah salah seorang arsitek utama dari kesadaran Islam baru di Iran. Ia dilahirkan pada 2 februari 1920 di Fariman. Fariman yang pada waktu itu adalah sebuah desa, sekarang berkembang menjadi sebuah kotamadya yang berjarak sekitar 60 km dari Marsyhad, pusat ziarah dan pengajaran besar Syi’ah di Iran Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husain Muthahhari, seorang ulama terkenal yang belajar di Najaz dan menghabiskan beberapa tahun di Mesir dan Hijaz sebelum kembali ke Fariman. Muthahhari senior memiliki posisi pemikiran yang berbeda dibandingkan dengan putranya, yang bagaimanapun lebih cemerlang darinya. Ayahnya tekun mengeluti karya-karya pakar hadis kondang, Mulla Muhammad Baqir Majlisi q.s. sebaliknya, sang putra yang merupakan pahlawan besar di antara para ulama Syi’ah dahulu adalah seorang teosofis Mulla Shadra q.s.
Namun, Ayatullah Muthahhari selalu menunjukkan respek dan kecintaan besar terhadap ayahnya, yang juga merupakan guru pertamanya. Ia mendedikasikan kepada ayahnya salah satu bukunya yang sangat populer, Dastan-e-Rastan (The Epic of the Righteous), diterbitkan pertama kali pada tahun 1960, dan yang kemudian terpilih sebagai “Book of the Year” oleh Komisi Nasional Iran untuk UNESCO pada 1965.
Pada usia sangat muda, 12 tahun, Muthahhari memulai studi-studi formal agamanya pada lembaga pendidikan di Masyhad, yang pada waktu itu dalam kondisi merosot, sebagaian disebabkan alasan-alasan internal dan sebagian disebabkan tindakan-tindakan represif yang dipimpin oleh Ridha Khan, otokrat Pahlevi yang pertama, terhadap semua lembaga Islam. Namun di Masyhad, Muthahhari menemukan cintanya yang besar terhadap filsafat, teologi dan irfan, suatu cinta yang tetap ada bersamanya sepanjang hidupnya dan membentuk keseluruhan pandangannya tentang agama:
“aku dapat mengatakan bahwa ketika aku memulai studi-studiku di Masyhad dan sibuk mempelajari bahasa Arab dasar, para filosof, para arif, dan teologi membentuk aku terkesan jauh melebihi para ulama dan ilmuwan lainnya, seperti para peneliti dan penyelidik. Tentu saja aku belum mengenal ide-ide mereka, namaun aku menganggap mereka sebagai pahlawan-pahlawan di pentas pemikiran.”
Demikianlah, figur di Masyhad yang menggelorakan pengabdian terbesar pada Muthahhari adalah Mirza Mahdi Syahidi Razavi q.s, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, sebelum Muthahhari cukup dewasa untuk ikut serta dalam pelajaran-pelajaran di kelasnya, dan terutama disebabkan oleh alasan ini, yaitu meninggalkan Masyhad pada tahun berikutnya untuk bergabung dengan sejumlah siswa yang belajar di lembaga pendidikan (hawzah) di Qum.
Berkat kepengurusan kapabel Syekh Abdulkarim Ha’iri q.s, Qum bergerak untuk menjadi ibukota spritual dan intelektual dari Iran Islam. Sementara itu, di saat yang sama Muthahhari mempu memperoleh manfaat disana dari pengajaran sejumlah besar ulama. Ia mempelajari fikih dan ushul, subjek-subjek inti dari kurikulum tradisional pada Ayatullah Hujjat Kuhkamari q.s, Ayatullah Sayyid Muhammad Damad(q.s), Ayatullah Sayyid Muhammad Ridha Gulpayagani (q.s), dan Haji Sayyid Shadruddin ash-Shadr (q.s). akan tetapi lebih penting dari semua ini adalah Ayatullah Burujerdi (q.d.s), penerus dari Ha’iri sebagai direktur hawzah di Qum. Muthahhari menghadiri kuliah-kuliahnya sejak kedatangannya di Qum pada 1944 hingga kepulangannya ke Teheran pada 1952. Ia menunjukkan respek yang mendalam terhadapnya.
Kepatuhan yang luar biasa dan pertalian yang dekat mencirikan hubungan Muthahhari dengan mentor utamanya di Qum, Ayatullah Ruhullah Khomeini (q.s). ketika Muthahhari tiba di Qum, Ayatullah Khomeini adalah seorang pengajar muda, namun beliau sudah menjadi pusat perhatian teman sejawatnya disebabkan keluasan dan kesempurnaan visi Islamnya dan kemampuannya untuk menyampaikannya kepada orang lain termanifestasikan dalam kuliah-kuliah terkenal tentang etika yang beliau mulai memberikannya di Qum pada awal 1930.
Kuliah-kuliah Khomeini menarik banyak audies dari luar dan dalam lembaga pengajaran agama dan memiliki dampak luar biasa pada semua orang yang menghadiri kuliah-kuliahnya. Muthahhari membuat perkenalan pertamanya dengan Ayatullah Khomeini pada kuliah-kuliah ini :
Ketika aku pindah ke Qum, aku menemukan objek keinginanku pada sesosok pribadi yang memiliki seluruh sifat Mirza Mahdi (Syahidi Razavi) di samping lain-lainya yang secara istimewa ia miliki. Aku menyadari bahwa dahaga jiwaku akan terpuaskan pada air mata bening pribadi itu. Walaupun aku masih belum menyelesaikan tahap-tahap pendahuluan dari studi-studinya dan belum memenuhi syarat untuk naik ke jenjangstudi ilmu-ilmurasional (ma’qulat), kuliah-kuliah tentang etika yang diberikan oleh pribadi tercinta itu setiapkamis dan jumat tidak terbatas pada etika dalam pengertian kering dan akademik tapi menyentuh masalah irfan dan wisata spritual, dan dengan demikian, kuliah-kuliah itu menimbulkan sedemikian besar kegairahanku hingga efeknya tetap ada bersamaku hingga senin atau selasa berikutnya. Suatu bagian penting dari kepribadian intelektual dan spritualku mengambil bentuk di bawah pengaruh kuliah-kuliah itu dan pelajaran-pelajaran lainnya yang aku jalani salam dua belas tahun melalui ustad Ilahi (maksudnya Ayatullah Khomeini).
Sekitar 1946, Ayatullah Khomeini mulai memberikan kuliah kepada sekelompok kecil pelajar yang termasuk di dalamnya Muthahhari dan teman seruangannya pada Madrasah Fayziya, Ayatullah Muntazhari, tentang kedua naskah utama filsafat, Asfar al-Arba’ah karya Mulla Hadi Sabzwari (q.s). Partisipasi Muthahhari dalam kelompok ini, yang terus bertemu hingga sekitar 1951, memungkinkannya untuk membangun hubungan-hubungan yang lebih intim dengan gurunya. Juga pada tahun 1946, atas permintaan Muthahhari dan Muntazhari, Ayatullah Khomeini mengajarkan kuliah formal pertamanya tentang Fikih dan Ushul, mengambil bab tentang dalil-dalil rasionaldari jilid kedua Kifayat al-Ushul  karya Akhund Khurasani sebagai naskah pengajarannya. Muthahhari mengikuti kuliahnya penuh perhatian, padahal ia masih mengikuti studi-studi fikihnya pada Ayatullah Burujerdi.
Pada dua dekade pertama pascaperang, Ayatullah Khomeini melatih sejumlah pelajar di Qum yang menjadi pemimpin-pemimpin Revolusi Islam dan Repbulik Islam sehingga melalui mereka (dan secara langsung), kesan kepribadian beliau tampak pada seluruh perkembangan utama dekade yang lalu. Namun, tidak ada di antara para murid beliau yang memiliki hubungan pertalian serupa seperti Muthahhari, suatu pertalian yang Ayatullah Khomeini sendiri telah memberikan kesaksian untuknya. Muris dan guru berbagai keterkaitan besar terhadap selurh aspek pengetahuan tradisional, tanpa menjadi tawanannya; suatu visi Islam yang komprehensif sebagai sebuah sistem total kehidupan dan keimanan, dengan makna khusus yang dianggap berasal dari aspek-aspek filosofis dan mistisnya; suatu loyalitas mutlak kepada lembaga agama, ditempa oleh kesadaran tentang keharusan perbaikan; sebuah keinginan untuk perubahan sosial dan politik, disertai dengan makna besar tentang strategi dan pemilihan waktu; sebuah kemampuan untuk mencapai di luar lingkup agama secara tradisional, serta memperoleh perhatian dan loyalitas dari kaum terdidik sekuler.
Di antara guru-guru lainya yang pengaruhnya dirasakan Muthahhari di Qum adalah pakar besar tafsir Quran dan filosof, Ayatullah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i (q.s). muthahhari ikut serta dalam pelajaran-pelajaran Thabathaba’i tentang kitab Al-Syifa’  karya Abu Ali Ibn Sina dari 1950 hingga 1953, dan pertemuan-pertemuan malam jumat yang berlangsung di bawah arahannya. Subjek dari pertemuan-pertemuan ini adalah filsafat materialis, sebuah pilihan luar biasa bagi sekelompok ulama tradisional. Muthahhari sendiri untuk pertama kali memahami minat besar pada filsafat materialis, terutama Marxisme, segera setelah naik ke jenjang studi formal ilmu-ilmu rasional.
Menurut ingatannya sendiri, pada sekitar 1946 ia mulai mempelajari terjemahan-terjamahan Persia tentang literatur Marxis yang dipublikasikan oleh Partai Tudeh, organisasi Marxis utama di Iran dan pada waktu itu merupakan kekuatan penting di pentas politik. Di samping itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritis utama Partai Tudeh, dan publikasi-publikasi Marxis dalam bahasa Arab yang berasal dari Mesir. Pada awalnya ia mengalami sedikit kesulitan memahami naskah-naskah ini sebab ia tidak terbiasa dengan terminologi filsafat modern, tetapi dengan terus berusaha keras (yang meliputi penyusunan sebuah sinopsis buku Elemntary Principles of Philosophy karya Georges Pulitzer), ia berhasil menguasai seluruh subjek tentang filsafat materialis. Penguasaan ini membuatnya menjadi seorang kontributor penting untuk lingkaran Thabathaba’i dan kemudian, setelah ia pindah ke Teheran, menjadi seorang pejuang efektif dalam perang ideologi melawan Marxisme dan interpretasi-interpretasi berpengaruh Marxis tentang Islam.
Sejumlah pembuktian kesalahan-kesalahan tentang Marxisme telah diuji coba di Dunia Islam, baik di Iran maupun di tempat lain, namun hampir semuanya gagal karena ketidakcocokkan-ketidakcocokan yang nyata dari Marxisme dengan kepercayaan agama serta kegagalan-kegagalan politik dan inkonsistensi partai-partai politik Marxis. Sebaliknya, Muthahhari mengkaji akar-akar filosofis dari persoalan tersebut dan dengan logika yang teliti menunjukkan sifat hipotesis kontradiktif dan arbitratif dari prinsip-prinsip utama Marxisme. Tulisan-tulisan polemiknya banyak tercirikan melalui kekuatan intelektual dibandingankan dengan kekuatan retorika atau emosional.
Namun, menurut Muthahhari, filsafat adalah jauh melebihi sebuah alat polemik atau disiplin intektual. Filsafat merupakan gaya khusus keberagaman, sebuah cara untuk memahami dan memformulasikan Islam. Muthahhari sesunguhnya memiliki tradisi kepedulian filosofis Syi’ah yang minimal mundur sejauh Nashiruddin Thusi, salah satu pahlawan pribadi Muthahhari. Untuk mengatakan bahwa pandangan Muthahhari tentang Islam berwatak filosofis tidaklah bermakna bahwa ia kekurangan spritualitas atau ditakdirkan untuk menundukkan dogma wahyu kepada interpretasi filosofis dan memaksakan terminologi filosofis atas seluruh bidang agama. Sebaliknya, itu bermakna bahwa ia memandang pencapaian pengetahuan dan pemahaman sebagai tujuan utama dan manfaat agama dan karena alasan itu ia memberikan filsafat tempat utama dan tertentu di antara disiplin-disiplin ilmu yang ada dalam lembaga agama. Dalam hal ini, ia berbeda dengan sejumlah ulama yang menjadikan fikih sebagai kurikulum utama. Ia berbeda dengan kelompok modernis yang bagi mereka filsafat merepresentasikan penyusupan paham Yunani atau Helenistik ke dalam dunia Islam. Ia juga berbeda dengan semua orang yang semangat revolusioner mereka telah membuat mereka tidak sabar dengan pemikiran filosofis yang bersifat hati-hati.
Aliran filsafat khusus yang dianut Muthahhari adalah filsafat Mulla Shadra, “Filsafat yang Menjulang” (al-hikmah al-muta’aliyah) yang berusaha mengombinasikan metode-metode deduksi filosofis Muthahhari memilki watak tenang dan sejuk, baik dalam perilaku kesehariannya maupun dalam tulisan-tulisannya. Bahkan, ketika ia terlibat dalam polemik-polemik, ia selalu berperilaku santu dan biasanya ia menahan diri untuk mengucapkan kata-kata yang bersifat emosional dan tidak layak. Namun, berkaitan dengan kesetiaannya kepada Mulla Shadra yang habis-habisan akan dibelanya walaupun itu berupa kecaman ringan atau insidental, dan ia memilih nama”Shadra” untuk cucu pertamanya juga untuk usaha penerbitannya di Qum yang memproduksi buku-bukunya.
Sejauh menyangkut mazhab filsafat Shadra, ia berusaha menggabungkan metode-metode pencerahan batiniah dan refleksi intektual, maka tidak mengherankan bahwa itu menimbulkan beragama interpretasi oleh mereka yanglebih condong kepada salah satu metode dibandingkan dengan metode lainnya. Untuk menilai tulisan-tulisannya, Muthahhari memiliki orang-orang yang unggul dalam hal dimensi intelektual ajaran Shadra. Ada sedikit nada mistis atau sangat spritual yangdi temukan dalam eksponen-eksponen pemikiran Shadra lainnya, mungkin karena Muthahhari memandang pengalaman-pengalaman batiniahnya sendiri sebagai tidak relevan dengan tugas pengajarannya ketika ia terlibat atau bahkan sebagai rahasia inti yang harus ia sembunyikan. Namun, lebih mungkin adalah bahwa kesukaannya yang luar biasa terhadap dimensi filosofis dari “filsafat yang menjulang” merupakan sebuah ekspresi dari tempreman dan kejeniusan Muthahhari sendiri. Dalam hal ini, dia sangat berbeda mentor agungnya, Ayatullah Khomeini, yang banyak statemen poliliknya terus diliputi dengan bahasa dan hal-hal irfan dan spritualitas.
Pada 1952, Muthahhari meninggalkan Qum menuju Teheran, tempat ia menikahi putri dari Ayatullah Ruhani (q.s) dan mulai mengajar filsafat di Madrasah Marwi, salah satu lembaga utama pendidikan agama di ibukota. Ini bukanlah awal dari karirnya mengajar di Qum ia sudah mulai mengajar topik-topik tertentu logika, filsafat, teologi dan fikih. Sewaktu ia sendiri masih berstatus seorang pelajar. Namun, Muthahhari tampak menjadi begitu tidak sabar dengan suasana Qum yang agakdibatasi, dengan faksionalisme yang mengemuka di antara sebagian pelajar dan guru-guru mereka, dan jauhnya mereka dari kepedulian terhadap masyarakat. Prospek-prospek masa depannya sendiri di Qum juga tidak menentu.
Di Teheran, Muthahhari menemukan bidangnya yang lebih luas dan lebih memuaskan dalam hal aktivitas keberagamaan, pendidikan, dan pada akhirnya politik. Pada 1954, ia diundang untuk mengajar filsafat di Fakultas Teologi dan ilmu-ilmu Islam dari Universitas Teheran, tempat ia mengajar selama dua puluh dua tahun.  Pertama-tama regularisasi dari pengangkatannya dan kemudian promosinya menjadi profesor ditunda oleh kemunculan kolega-kolega menengahnya dan oleh pertimbangan-pertimbangan politik (karena kedekatan Muthahhari dengan Ayatullah Khomeini dikenal luas). Namun, kehadiran figur seperti Muthahhari dalam kampus sekuler adalah signifikan dan efektif. Banyak orang yang berlatar belakang madrasah telah datang untuk mengajar di kampus-kampus, dan mereka rata-rata berpengatahuan luas. Akan tetapi, hampir tanpa kecuali mereka telah mendepak pandangan dunia Islam, bersama dengna sorban-sorban dan jubah-jubah mereka. Sebaliknya, Muthahhari, datang ke kampus sebagai seorang yang pandai mengemukakan pikiran-pikirannya dan seorang eksponen yang meyakini pengetahuan dan hikmah Islam, hampir bisa disebut sebagai seorang utusan lembaga agama kepada lembaga berpendidikan sekuler. Banyak orang meresponnya karena kekuatan-kekuatan pendidikan yang ia pertama-tama tunjukkan di Qum dan kini sangat berkembang. Selain membangun reputasinya sebagai seorang dosen kampus yang populer dan berdaya guna. Muthahhari juga ikut serta dalam aktivitas-aktivitas dari sejumlah organisasi (anjumanha) Islam profesional yang telah eksis di bawah pengawasan Mahdi Bazargan dan Ayatullah Taleqani (q.s), dengan memberikan kuliah kepada dokter, insinyur, guru dan membantu mengoordinasikan pekerjaan mereka. Sesungguhnya sejumlah buku Muthahhari meliputi transkripsi-transkripsi yang direvisi dari serangkaian kuliah yang disampaikan pada organisasi-organisasi Islam.
Keinginan-keinginan Muthahhari pada sebuah difusi yang lebih luas dari pengetahuan agama dalam masyarakat adn keterlibatan yang lebih efektif dari para ulama dalam masalah-masalah sosial membawanya pada 1960 untuk menduduki kepemimpinan sekelompok ulama Teheran yang dikenal sebagai Anjuman-e-Mahana-yi Dini (“The Monthly Religious Society”). Para anggota kelompok ini, yang termasuk almarhum Ayatullah Behesti (q.s), teman sekolah Muthahhari di Qum, mengorganisasikan ceramah-ceramah umum bulanan yang dirancang secara simultan untuk menunjukkan relevansi Islam dengan persoalan-persoalan konteporer dan menstimulir pemikiran refomis di antara para ulama. Ceramah-ceramah dicetak di bawah judul Guftar-e-Mah (“Discourse of the Month”) dan terbukti sangat populer. Namun, pemerintah melarangnya pada Maret 1963 ketika Ayatullah Khomeini memulai perlawanan publiknya terhadap rezim Pahlevi.
Upaya sejenis yang jauh lebih penting pada 1965 adalah pendirian Husainiyah Irsyad, sebuah lembaga di utara Teheran, yang dirancang untuk meraih dukungan kesetiaan kaum muda yang terdidik secara sekuler terhadap Islam. Muthahhari termasuk di antara dewan pengarah. Ia juga memberikan ceramah di Husainiyah Irshad serta menjadi editor dan kontributor untuk beberapa penerbitannya. Lembaga tersebut mampu menarik banyak sekali orang yang menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan, tetapi kesuksesan ini-yang tak diragukan telah melampaui harapan-harapan para pendirinya, dikalahkan oelh sejumlah persoalan internal. Salah satu persoalannya adalah konteks politik dari aktivitas-aktivitas lembaga tersebut, yang menimbulkan beragama pendapat tentang kemungkinan-kemungkinan menitikberatkna pada penceramahan reformis daripada konfrotasi politik.
Umumnya kata yang terucap memainkan peran yang lebih efektif dan lebih segera dalam mempromosikan perubahan revolusioner dibandingkan dengan kata yang tertulis, dan akan mungkin untuk menyusun sebuah ontologi dari pidato-pidato, pesan-pesan, dan ceramah-ceramah utama yang telah memajukan Revolusi Islam Iran. Namun, penjelasan konten ideologi dari revolusi dan demarkasinya dari aliran-aliran pemikiran yang menentang atau berkompetisi perlu bergantung pada kata yang tertulis, pada komposisi dari karya-karya yang menjelaskan secara rinci doktrin Islam secara sistematis, dengan perhatian khusus terhadap persoalan-persoalan dan hal-hal konteporer. Dalam area ini, kontribusi Muthahhari adalah unik dalam besaran dan cakupannya. Muthahhari menulis dengan tekun dan kontiyu, sejak masa belajarnya di Qum hingga 1979, tahun kesyahidannya. Banyak karyanya ditandai oleh nada dan penekanan filosofis yang sama dan telah tercatat, dan ia mungkin menganggap sebagai karyanya yang paling penting Ushul-e-Falsafa wa Ravish-e-Ri’alism (“Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme”), catatan tentang ceramah-ceramah Thabathaba’i pada malam majelis malam Jumat di Qum, dilengkapi dengan komentar-komentar Muthahhari. Namun, ia tidak memilih topik dari buku-bukunya sesuai dengan kepentingan atau kesukaan pribadi, tetapi sesuai dengan persepsinya tentang kebutuhan. Kapan pun sebuah buku tidak memiliki topik vital dalam hal kepentingan Islam kontemporer, Muthahhari berusaha menyediakannya.
Dengna mudah ia mulai mengonstruksi unsur-unsur utama dari perpustakaan Islam kontemporer. Buku-buku seperti Adl-e-Ilahi (“Keadilan Ilahi”), Nizam-e-Huquq-e-Zan dar Islam (“Hak-hak Wanita dalam Islam”), Mas’ala-yi Hijab (“Persoalan Hijab”), Ashna’i ba Ulum-e-Islam (“sebuah Pengatar kepada Ilmu-ilmu Islam”), dan Muqaddima bar Jahanbini-yi Islami (“Mukadimah kepada Pandangan Dunia Islam”) semuanya ditunjukan untuk memenuhi suatu kebutuhan, untuk berkontribusi terhadap pemahaman Islam yang akurat dan sistematik serta persoalan-persoalan dalam masyarakat Islam.
Buku-buku ini dapat dianggap sebagai kontribusi yang sangat abadi dan penting bagi lahirnya kembali Iran Islami, namun aktivitasnya juga memiliki dimensi politik yang walaupun derajatnya dibawah aktifitas utamanya, tetapi tidak semestinya dipangadang rendah. Sewaktu masih berstatus pelajar dan calon guru di Qum, ia telah berusaha keras menanamkan kesadaran politik pada teman-teman sejawatnya dan yang terutama dekat dengan mereka yang menjadi anggota-anggota Fida’iyan-i Islam, sebuah organisasi militan yang didirikan pada 1945 oleh Nawwab Safawi. Markas Besar Fida’iyan di Qum adalah Madrasah Fayziya, tempat Muthahhari sendiri berada, dan ia tidak berhasil mencegah mereka dipindahkan dari Madrasah tersebut oleh Ayatullah Burujerdi, yang dengan tegas menantang segala konfrontasi politik dengan rezim Syah.
Dalam perjuangan menasionalisasikan Industri Minyak Iran, Muthahhari bersimpati terhadap upaya-upaya Ayatullah Kasyani (q.s) dan DR. Muhammad Mushaddiq, walaupun ia mengkritisi Dr. Mushaddiq karena yang bersangkutan menganut nasionalisme sekuler. Setelah kepindahannya ke Teheran, Muthahhari berkolaborasi dengan Gerakan Kemerdakaan-nya Bazargan dan Talegani, namun ia tidak pernah menjadi salah satu figur utama dalam kelompok tersebut.
Konfrontasi pertamanya yang serius dengan rezim Syah berlangsung dalam pemberontakan 15 Khurdad 1342/6 Juni 1963, ketika ia menunjukkan dirinya secara politik dan intektual sebagai seorang pengikut Ayatullah Khomeini dengan mendistribusikan deklarasi-deklarasi Khomeini dan memeberikan dukungan bagi Khomeini dalam ceramah-ceramah yang ia berikan. Akhirnya, ia pun ditahan dan dipenjara selama empat puluh tiga hari. Setelah kebebasannya, ia ikut serta secara aktif dalam berbagai organisasi yang ada guna memelihara momentum yang telah tercipta melalui pemberontakan tersebut. Yang sangat penting di antara organisasi-organisasi itu adalah Asosiasi Alim Ulama Militan (the Association of Militant Religious Scholars). Pada november 1964, Ayatullah Khomeini memasuki masa 14 tahun pengasingannya, pertama-tama dihabiskan di Turki kemudian di Najaf. Sepanjang periode ini, Muthahhari tetap berhubungan dengan Ayatullah Khomeini, baik secara langsung melalui kunjungan-kunjungannya ke Najaf maupun secara tidak langsung.
Ketika Revolusi Islam mendekati puncak kemenangannya pada musim dingin 1978 dan Ayatullah Khomeini meninggalkan Najaf menuju Paris, Muthahhari termasuk diantara orang-orang yang pergi ke Paris untuk bertemu dan berkonsultasi dengan Ayatullah Khomeini. Kedekatannya dengan Ayatullah Khomeini ditegaskan melalui pengangkatannya pada Dewan Revolusi Islam, suatu dewan yang eksistensinya diumumkan oleh Ayatullah Khomeini pada 12 januari 1979.
Pengabdian-pengabdian Muthahhari kepada Revolusi Islam secara brutal terhenti melalui pembunuhannya pada 1 mei 1979. Pembunuhan itu dilakukan oleh sekelompok yang dinamakan sebagai Furqan, yang mengklaim organisasi mereka sebagai pendukung-pendukung “Islam Progresif”, organisasi yang konon membebaskan diri mereka dari pengaruh distortif para ulama. Walaupun Muthahhari tampaknya telah menjadi ketua Dewan Revolusi Islam pada waktu pembunuhannya, namun ia Syahid sebagai seorang pimikir dan penulis.
Pada 1972, Muthahhari menerbitkan buku berjudul Illal-i Girayish ba Maddigari (Alasan-alasan Berpaling pada Materialisme”). Sebuah karya yang penting yang menganalisis latar belakang historis dari materialisme di Eropa dan Iran. Pada waktu revolusi, ia menulis sebuah pengatar untuk edisi kedelapan buku ini, yang menyerang distorsi-distorsi pemikiran Hafiz dan Hallaj yang telah menjadi tren hidup dalam beberapa segmen masyarakat Iran dan membuktikan kesalahan interpretasi-interpretasi materialistik tertentu terhadap Al-Quran. Sumber interpretasi-interpretasi dimaksud adalah kelompok Furqan, yang berusaha mengingkari konsep-konsep Al-Quran yang fundamental, seperti transendensi Ilahi dan realitas akhirat. Sebagaiman selalu dalam hal-hal demikian, sikap Muthahhari adalah persuasif dan santu, tidak mengumbar kemarahan dan kecaman. Bahkan, ia mengajak Furqan untuk memberikan respon dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mengomentari yang mereka berikan adalah pembunuhan dirinya.
Ancaman untuk membunuh semua orang yang menentang mereka sudah terkandung dalam publikasi-publikasi Furqan. Dan, setelah penerbitan edisi baru dari ‘Illal-e-Girayish ba Maddigari, Muthahhari kelihatannya sudah memiliki pertanda atau firasat tentang kesyahidannya. Menurut pengakuan putranya, Mujtaba, sejenis pelepasan diri dari urusan-urusan duniawi menjadi tampak padanya. Ia memperhebat shalat-shalat bacaan-bacaanm Al-Quran. Ia pernah bermimpi bahwa ia berada di hadapan Rasulullah saw bersama dengan Ayatullah Khomeini (q.s).
Pada selasa, 1 mei 1979, Muthahhari pergi ke rumah Dr. Yahullah Sahabi untuk berkumpul dengan para anggota lain dari Dewan Revolusi Islam. Sekitar pukul 10.30 malam, ia dan peserta pertemuan lainya, Insinyur Katita’i, meninggalkan rumah Sahabi. Berjalan sendiri menuju sebuah gang yang dekat dengan rumah itu dimana mobil yang akan membawanya pulang di parkit disitu, Muthahhari tiba-tiba mendengar suara yang tak ia kenal memanggil-manggilnya. Ia memandang sekeliling untuk melihat dari mana asal suara itu, dan sebutir pelurupun menghantam kepalanya, masuk dibawa gendang telinga kanan dan keluar diatas alis kirinya. Ia hampir mati seketika. Walaupun ia dilarikan di rumah sakit terdekat, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali kbar duka cita kematiannya. Tubuhnya tetap berada di rumah sakit hingga esok harinya. Kemudian pada hari kamis, di tengah-tengah perkabungan yang meluas di senatero negeri, mayatnya pertama-tama di bawa ke Universitas Teheran untuk dishalatkan dan kemudian di Qum untuk dikuburkan, bersebelahan dengan makam Syekh Abdulkarim Ha’iri (q.s).
Ayatullah Khomeini (q.s) menangis didepan umu ketika Muthahhari dikuburkan di Qum, dan beliau melukiskan Muthahhari sebagai “putra tercintanya,” dan sebagai “buah kehidupanku”, serta sebagai “belahan jiwanya.” Namun, dalam euloginya Ayatullah Khomeini juga menunjukkan bahwa dengan pembunuhan Muthahhari tidaklah berkurang kepribadiannya dan tidak mengganggu jalannya revolusi:
Biarlah para pelaku kejahatan mengetahui bahwa dengan kepergian Muthahhari-kepribadian Islaminya, filsafatnya dan pengetahuannya, tidak pergi meninggalkan kita. Pembunuhan-pembunuhan tidak dapat menghancurkan kepribadian Islami dari orang-orang besar Islam... Islam tumbuh berkembang melalui pengorbanan dan kesyahidan pribadi-pribadinya yang mulia. Seak turunnya wahyu hingga kini, Islam selalu ditemani oleh kesyahidan dan kepahlawanan.
Ketokohan dan peninggalan Ayatullah Muthahhari sudah tentu tak terlupakan dalam Republik Islam, sedemikian tingginya hingga ketiadaannya hampir sama mengesankan dengan prestasi-prestasi hidupnya. Ulang tahun kesyahidannya secara reguler diperingati di seluruh Iran. Beberapa tulisan-tulisannya yang belum sempat diterbitkan akhirnya dicetak untuk pertama kalinya. Seluruh kumpulan karya tulisnya kini didistirbusikan dan dikaji dalam skala massif. Dalam kata-kata Ayatullah Khomeini, sewaktu menjadi Presiden Iran, karya-karya Muthahhari telah berhasil membentuk “infrastruktur intektual dari Republik Islam”.
Maka itum upaya-upaya yang sedang berlangsung adalah mempromosikan pengetahuan dari tulisan-tulisan Muthahhari di luar dunia yang berbahasa Persia juga, dan Kementrian Bimbingan Islam telah mensponsori penerjemahan karya-karyanya ke dalam beragam bahasa, seperti Spanyol dan Malayu. Namun, jika Iran revolusioner terbukti mampu untuk membangun pemerintahan, masyarakat, ekonomi dan kultur yang Islami secara autentik dan integral. Karena kehidupan Muthahhari berorientasi menuju suatu sasaran yang melampaui ekspresi final dari sikap tidak menonjolkan diri.

Referensi : Buku Saku Bimbingan Untuk Generasi Muda, Shadra Press, 2011. Jakarta       

Wednesday, February 20, 2013

Berfilsafat menjadi manusia



"Berfilsafat Menjadi Manusia"
oleh Ponpes Madrasah Muthahhari pada 23 Januari 2013 pukul 17:41 ·
Oleh : Aliman Djafar

Berfilsafat berarti memoles daya pikir,imajinasi, dan rasa untuk merengku suatu pengetahuan sejati dalam payung al-qur’an dan hadist. Manusia dalam dirinya memiliki dua dimensi yaitu dimensi jasmani dan dimensi rohani. Dimensi jasmani merupakan sisi dimensi manusia yang berhubungan langsung dengan sifat materil sedangkan dimensi rohani merupakan sisi manusia yang  tidak lagi berhubungan dengan hal-hal materi, namun dimensi ini berhubungan langsung dengan sisi kekuatan spiritual manusia yang lahir dari dirinya sendiri. Berdasarkan dua dimensi ini yang kemudian menjadi neraca kepribadian manusia dalam menentukan kesejatian dirinya.
Ketentuan kesejatian diri manusia sering diperhadapkan dengan dua kekuatan yang saling berlawanan yaitu kecenderungan alamiahnya yang bersiafat materi dan kekuatan akalnya atau dengan kata lain bisa kita katakan antara hawa nafsu (sisi kebinatangannya) dengan akal(sisi kemanusianya). Kalau manusia lebih mengutamakan hawa nafsunya maka manusia itu sendiri akan mengalami suatu fase keterasingan dari jati dirinya sendiri sedangkan kekuatan akal adalah suatu kekuatan cahaya langit yang menjadi salah satu ciri khas pembeda antara sisi kebinatangan dan sisi kemanusiaan. Oleh karena, hawa nafsu harus dibatasi dan dikontrol langsung oleh kekuatan akal itu sendiri. Namun perlu diketahui bahwa  hawa nafsu kita terkadang muncul dari daya tarik imajinasi kita sendiri dari berbagai hal yang di imajinasikan dari luar, sehingga imajinasi yang tidak terkontrol dengan baik akan mudah mempengaruhi jiwa yang tidak terorganisir dengan baik. Maka kita sebagai manusia membutuhkan suatu tempat sebagai pengkondisian untuk membidik dan mendidik imajinasi kita dibawa kekuatan akal.
Olehnya itu, imajinasi dan rasa harus diorganisir dengan baik oleh kekuatan akal dan bimbingan wahyu, karena di dalam filsafat islam itu sendiri tidak ada keterpisahan antara akal dengan wahyu. Maka keduanya yang menjadi acuan kita dalam mengenal hakikat segalah sesuatu ini. Imam Ali As mengatakan bahwa kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan di kalahkan oleh keburukan yang terorganisir dengan baik. Dengan perkataan ini bahwa kita sebagai manusia tidak hanya mengandalkan kekuatan akal saja, namun akal juga membutuhkan suatu cahaya dari langit atau dalam bahasa agama akal harus mendapatkan pengetahuan secara iluminatif  dari Tuhan. Sehingga dengan begitu, perpaduan antara akal dengan wahyu ini yang menjadi salah satu kemestian manusia untuk mengetahui kapasitas dirinya sendiri serta mampu mengenal esensi dirinya. Sebab wahyu atau firman Allah itu sendiri menganjurkan kepada manusia untuk mengenal diri sendiri dengan proses berfikir kedalam diri (jiwa) dengan metode perenungan (Bertafa’kur). Nabi Saw juga mengatakan dalam sabdanya “Barang siapa mengenal dirinya, maka dirinya mengenal tuhannya” ungkapan nabi ini sama seperti ungkapan Ibn Arabi dalam buku Fusus Al-Hikam bahwa “ Barang siapa menyerupakannya ( mengenal ketasbiannya ) maka dirinya akan mengenal ketanziannya ( ketunggalannya ).

Kedua ungkapan ini merupakan kemestian yang harus disingkap oleh manusia dalam mengenal realitas dirinya dan alam semesta serta bahkan tuhan itu sendiri. Namun perlu diketahui bahwa mengenal diri dan mengenal tuhan adalah dua realitas yang berbeda, akan tetapi diri kita adalah realitas cerminan diri-Nya sedangkan diri-Nya adalah realitas nyata yang berbeda dengan diri kita sendiri. Oleh karena itu, barang siapa yang dirinya hanya mengenal ketasbiannya dan tidak mengenal ketanziannya, maka dia membatasih dirinya (Tuhan) dan bahkan tidak mengenal diri-Nya.  Maka dari itu, untuk mengenal realitas diri dan realitas tuhan itu sendiri, maka kita harus menyatuh dan mengenal kedua-duanya tanpa ada hijab yang menghalagi.
Dalam pembahasan singkat ini saya mencoba membedakan antara berfilsafat dengan belajar filsafat. Sebab berfilsafat memiliki makna yang lahir dalam proses perenungan atau dengan kata lain berfilsafat adalah pengetahuan Hudhurinya sedangkan belajar filsafat hanya memberikan stimulus saja atau bisa kita sebut sebagai pengetahuan ushulinya. Oleh karena itu, berfilsafat lebih mengedepankan akal, imajinasi dan intuisi (rasa) sebagai suatu kekuatan atau sistem yang mampu membawa manusia kepada suatu pengetahuan sejati. Karena salah satu tujuan dasar dari berfilsafat yaitu menjadikan manusia sebagaimana manusia.


BIOGRAFI SINGKAT 
IMAM ALI ZAINAL ABIDIN

Imam Ali Zainal Abidin adalah anak dari Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ibunya bernama Syahar Banu, seorang putri Yazdarij, anak Syahriar, anak Kisra, raja terakhir kekaisaran Persia. Beliau lhir di Madinah pada tanggal 15 Jumadil Awal 36 H.
Setelah Tragedi Karbala, Imam Husain sebagai pemimpin umat dan sebagai penerima wasiat Rasul. Dua tahun pertama di masa kecilnya, beliau berada dipangkuan kakeknya, Imam Ali bin Abi Thalib. Dan setelah kakeknya berpulang kerahmatullah, beliau diasuh pamannya, Imam Hasan, sealam delapan tahun. Beliaun mendapat perlakuan yang sangat istimewah dari pamannya.
Sejak masa kecilnya, beliau telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Keutamaan budi, ilmu dan ketakwaan telah menyatu dalam dirinya. Beliau dijuluki As Sajjad, karena kebanyak bersujud. Sedangkan gelar Zainal Abidin (hiasannya orang-orang yang beribadah) diberikan pada beliau karena beliau selalu beribadah kepada Allah SWT. Bila akan salat, wajahnya pucat, badannya gemetar. Ketika ditanya mengapa demikian, jawabannya: “Engkau tidak mengetahui dihadapan siapa aku berdiri salat dan kepada siapa aku bermunajat”.
Setelah kesyahidan Imam Husain beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali menangis. Tangisannya itu bukanlah semata-mata hanya karena kematian keluarganya, namun karena perbuatan umat Nabi Muhammad saw yang durjana dan aniaya, yang hanya akan menyebabkan kesengsaraan mereka di dunia dan di akhirat. Bukankah Rasulullah saw tidak meminta upah apapun kecuali agar umatnya mencintai keluarganya.
Di saat keluarganya telah dibantai, penguasa setempat sangat memusuhinya. Misalnya di zaman Yazid bin Muawiyah beliau dirantai dan dipermalukan di depan umum; di zaman Abdul Malik, raja dari bani Umayyah, beliau dirantai lagi dan dibawa dari Damaskus ke Madinah lalu kembali lagi ke Madinah. Akhirnya beliau banyak menyendiri serta selalu bermunajat kepada Khaliqnya.
Amalannya dilakukan secara tersembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui amalannya. Sebagaimana datuknya, Ali bin Abi Thalib, beliau memikil tepung dan roti di punggungnya guna dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga fakir miskin di Madinah.
Dalam pergaulannya, beliau sangat ramah bukan hanya kepada kawannya saja melainkan juga pada lawannya. Dalam bidang ilmu serta pengajaran, meskipun yang berkuasa saat itu Al Hajjaj bin Yusuf as Tsaqafi, seorang tiran yang kejam yang tidak segan-segan membunuh para penguasa. Namun, apapun yang dilakukannya, keluarga Umayyah tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Dan pada tanggal 25 Muharram 95 H, ketika beliau berada di Madinah, Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan meracuni beliau.
Keagungan beliau sulit digambarkan dan kata-katanya bak mutiara yang berkilauan. Munajat beliau terkumpul dalam sebuah kitab yang berjudul Shahifah as Sajjadiyyah.


ILMU DALAM ISLAM

Didalam Islam ilmu mempunyai tempat yang lebih dibandingkan dengan agama-agama lain. Disebabkan karena konsep tentang ilmu di dalam Islam yang dianggap suci. Dalam pandangan Mulla Shadra alam semesta adalah manifestasi Allah SWT. Manifestasi Allah memiliki begitu banyak sifat dan sifat-sifat mana yang sesuai dengan Allah pada alam ini. Salah satu manifestasi Allah SWT di alam ini adalah ilmu yang diperuntukkan hanya untuk manusia.
Oleh karena itu kemuliaan manusia adalah memiliki ilmu karena ilmu merupakan manifestasi, secara prinsip ilmu dikonsepsi dari wujud Allah SWT. Jadi didalam ilmu ada manifestasi Allah pada saat manusia bodoh dia tidak memiliki salah satu sifat Allah SWT.
Manifestasi Tuhan ada pada ilmu untuk bagaimana ilmu itu bisa membuat masyarakat dan peradaban sesuai dengan ilmu. Dalam Islam ilmu tidak bertentang satu sama lainnya malah ilmu dan agama saling melengkapi .
Seperti dalam pandangan Ayatullah Sayyid Murtadha Muthahhari memberikan konsep tentang ilmu dimana Muthahhari membaginya dalam tiga bagian pertama ilmu tidak dibatasi oleh jenis kelamin tertentu tidak hanya dibatasi pada laki-laki saja yang bisa mencari ilmu tapi perempuan juga wajib untuk mencari ilmu tidak ada batas dalam jenis kelamin sehingga ilmu tidak memiliki jenis kelamin, kedua ilmu tidak terbatas pada ruang dan waktu, dan ketiga ilmu tidak mempunyai batasan dalam konteks apapun mulai dari siapa yang menyampaikannya dari mana dan oleh siapa dia tidak terbatas oleh agama apapun dari orang musrik, kafir dan lain-lain selama ilmu itu bisa bermanfaat untuk diri dan membawa manfaat buat masyarakat.
Ada satu hal yang penting buat kita para pencari ilmu, kita tau bahwa definisi ilmu dalam pandangan dunia jaman sekarang adalah ilmu yang berhubungan dengan melalui proses ilmiah proses pencarian ilmu dalam ilmiah pada tempatnya penting tapi kita tidak bisa menutup ada cara lain buat kita yang tidak bisa dikesampingkan yaitu dengan cara moral, penyucian diri dan etika ini ada pada hati. Untuk mendapatkan ilmu secara ilmiah/akademis harus disesuaikan dengan hati, karena hati yang menentukan bagaiman ilmu itu bermanfaat untuk diri sendiri dan untuk masyarakat. Ketika ilmu tidak dibaringi dengan ilmu hati maka hancurlah sudah ketidak akan mampu untuk melawan hawa nafsu yang menguasai kita, karena cuma ilmu yang bisa mengontrol hawa nafsu dibawa pada hal-hal yang baik.
Para pemimpin Indonesia harusnya memiliki ilmu hati (moral, menyucian diri dan etika) yang baik untuk bisa menjaga mereka sehingga tidak melakukan korupsi seperti yang terjadi sekarang ini di Indonesia.

Tuesday, February 19, 2013

Pandangan Imam Ali Khamenei Tentang Demokrasi Agama
Description: Cetak


23/07/2008
Ringkasan
Dewasa ini demokrasi agama yang kita kemukakan di dalam negeri adalah sebuah ungkapan baru, bukan hanya karena kita menawarkan satu cabang dari demokrasi agama saja. Bukan. Saya benar-benar memiliki kritik serius terhadap demokrasi yang ada di dunia, karena pemiliahn umum dan alternatif pilihannya terpengaruh oleh faktor-faktor kampanye yang didominasi oleh para kapitalis.
Fondasi demokrasi agama berbeda dengan demokrasi ala Barat. Demokrasi agama - yang kita pilih dan berasaskan pada hak dan kewajiban ilahi atas seluruh umat manusia - bukan sekedar sebuah kontrak saja. Setiap manusia memiliki hak memilih dan menentukan. Demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi agama yang didukung dengan iman dan tanggung jawab keagamaan.
Dalam budaya Islam, manusia paling unggul adalah yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Tidak seperti jenis demokrasi yang menipu masyarakat, demokrasi agama merupakan sebuah sistem melayani dengan tulus dan berdasarkan pada prinsip menjalankan tugas disertai dengan kesucian dan kebenaran.
Bahwa sebuah pemerintahan Islam - pemerintahan yang berada di bawah naungan panji tauhid dan agama - mampu menjelaskan konsep demokrasi dengan transparan dan dengan bahasa yang jelas kepada masyarakat dunia, merupakan kebalikan dari propaganda imperialis dunia liberal demokrasi. Mereka ingin menyatakan bahwa demokrasi hanya milik mereka. Mereka tidak dapat menyaksikan berdirinya sebuah pemerintahan agama dan Islami, dengan bersandarkan pada nilai-nilai tinggi keimanannya mampu mewujudkan demorasi. Kita tidak mengambil contoh dari rezim-rezim Timur maupun Barat. Model yang kita ambil berasal dari Islam, dan masyarakat kita berdasarkan pengetahuan mereka terhadap Islam, memilih pemerintahan Islami.

Referensi : http://indonesian.khamenei.ir

Monday, February 18, 2013

Agung Banggai: Pulau Banggai Sulawesi Tengah Indonesia

Agung Banggai: Pulau Banggai Sulawesi Tengah Indonesia: Pulau Banggai.... Perjalanan panjang untuk pulang itu sebuah keindahan dan kesenangan tersendiri. Itu yang saya alami pada saat harus pula...

Saturday, February 16, 2013


Asrama Putra Mahasiswa
Sulawesi Tengah Yogyakarta

Asrama Sulawesi Tengah berada di Jalan Bintaran Tengah no 8 RT. 03 RW. 01 Kelurahn Wirogunan Kecamatan Mergangsang  Yogyakarta. Ada nama lain dari Asrama Sulawesi Tengah yang biasa digunakan oleh Alumni penghuni Asrama Sulawesi Tengah yaitu BT 8. BT 8 sudah ada sejak tahun 50an pertama kali digunakan oleh Mahasiswa se Pulau Sulawesi pemiliknya adalah seorang bangsawan dari Donggala membelinya dari pemerintah Yogykarta dan dihibakan untuk kepentingan mahasiswa yang ada di Yogyakarta.
Sebenarnya sampai sekarang ini belum jelas dari tahun berapa pastinya Asrama Sulawesi Tengah di resmikan, karena tidak ditau kapan peresmian maka diikuti sesuaikan dengan hari lahirnya Propinsi Sulawesi Tengah 13 April 1964.
Nanti setelah ada Propinsi Sulawesi Tengah yang berdiri tahun 1964 Asrama BT 8 mengganti nama menjadi Asrama Putra Mahasiswa Sulawesi Tengah Yogyakarta sampai sekarang masih tetap eksis. Asrama Sulawesi Tengah dulu adalah bangunan cagar budaya namun pada tahun 2006 diadakan renovasi total, merubah bentuk menghilangkan bentuk lamanya dan yang tersisa tinggal pagar dan sumur yang masih digunakan sampai sekarang.
Para alumni sudah tersebar luas baik di daerah Sulawesi Tengah maupun di daerah-daerah lain jumlah alumni yang tercatat sampai sekarang ada 500 orang lebih. Jumlah yang seharusnya sudah bisa membuat propinsi Sulawesi Tengah menjadi salah satu Propinsi maju di Indonesia.