Friday, February 22, 2013

Ayatullah Murtadha Muthahhari


Biografi Singkat
Ayatullah Murtadha Muthahhari

Ayatullah Murtadha Muthahhari q.s adalah salah seorang arsitek utama dari kesadaran Islam baru di Iran. Ia dilahirkan pada 2 februari 1920 di Fariman. Fariman yang pada waktu itu adalah sebuah desa, sekarang berkembang menjadi sebuah kotamadya yang berjarak sekitar 60 km dari Marsyhad, pusat ziarah dan pengajaran besar Syi’ah di Iran Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husain Muthahhari, seorang ulama terkenal yang belajar di Najaz dan menghabiskan beberapa tahun di Mesir dan Hijaz sebelum kembali ke Fariman. Muthahhari senior memiliki posisi pemikiran yang berbeda dibandingkan dengan putranya, yang bagaimanapun lebih cemerlang darinya. Ayahnya tekun mengeluti karya-karya pakar hadis kondang, Mulla Muhammad Baqir Majlisi q.s. sebaliknya, sang putra yang merupakan pahlawan besar di antara para ulama Syi’ah dahulu adalah seorang teosofis Mulla Shadra q.s.
Namun, Ayatullah Muthahhari selalu menunjukkan respek dan kecintaan besar terhadap ayahnya, yang juga merupakan guru pertamanya. Ia mendedikasikan kepada ayahnya salah satu bukunya yang sangat populer, Dastan-e-Rastan (The Epic of the Righteous), diterbitkan pertama kali pada tahun 1960, dan yang kemudian terpilih sebagai “Book of the Year” oleh Komisi Nasional Iran untuk UNESCO pada 1965.
Pada usia sangat muda, 12 tahun, Muthahhari memulai studi-studi formal agamanya pada lembaga pendidikan di Masyhad, yang pada waktu itu dalam kondisi merosot, sebagaian disebabkan alasan-alasan internal dan sebagian disebabkan tindakan-tindakan represif yang dipimpin oleh Ridha Khan, otokrat Pahlevi yang pertama, terhadap semua lembaga Islam. Namun di Masyhad, Muthahhari menemukan cintanya yang besar terhadap filsafat, teologi dan irfan, suatu cinta yang tetap ada bersamanya sepanjang hidupnya dan membentuk keseluruhan pandangannya tentang agama:
“aku dapat mengatakan bahwa ketika aku memulai studi-studiku di Masyhad dan sibuk mempelajari bahasa Arab dasar, para filosof, para arif, dan teologi membentuk aku terkesan jauh melebihi para ulama dan ilmuwan lainnya, seperti para peneliti dan penyelidik. Tentu saja aku belum mengenal ide-ide mereka, namaun aku menganggap mereka sebagai pahlawan-pahlawan di pentas pemikiran.”
Demikianlah, figur di Masyhad yang menggelorakan pengabdian terbesar pada Muthahhari adalah Mirza Mahdi Syahidi Razavi q.s, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, sebelum Muthahhari cukup dewasa untuk ikut serta dalam pelajaran-pelajaran di kelasnya, dan terutama disebabkan oleh alasan ini, yaitu meninggalkan Masyhad pada tahun berikutnya untuk bergabung dengan sejumlah siswa yang belajar di lembaga pendidikan (hawzah) di Qum.
Berkat kepengurusan kapabel Syekh Abdulkarim Ha’iri q.s, Qum bergerak untuk menjadi ibukota spritual dan intelektual dari Iran Islam. Sementara itu, di saat yang sama Muthahhari mempu memperoleh manfaat disana dari pengajaran sejumlah besar ulama. Ia mempelajari fikih dan ushul, subjek-subjek inti dari kurikulum tradisional pada Ayatullah Hujjat Kuhkamari q.s, Ayatullah Sayyid Muhammad Damad(q.s), Ayatullah Sayyid Muhammad Ridha Gulpayagani (q.s), dan Haji Sayyid Shadruddin ash-Shadr (q.s). akan tetapi lebih penting dari semua ini adalah Ayatullah Burujerdi (q.d.s), penerus dari Ha’iri sebagai direktur hawzah di Qum. Muthahhari menghadiri kuliah-kuliahnya sejak kedatangannya di Qum pada 1944 hingga kepulangannya ke Teheran pada 1952. Ia menunjukkan respek yang mendalam terhadapnya.
Kepatuhan yang luar biasa dan pertalian yang dekat mencirikan hubungan Muthahhari dengan mentor utamanya di Qum, Ayatullah Ruhullah Khomeini (q.s). ketika Muthahhari tiba di Qum, Ayatullah Khomeini adalah seorang pengajar muda, namun beliau sudah menjadi pusat perhatian teman sejawatnya disebabkan keluasan dan kesempurnaan visi Islamnya dan kemampuannya untuk menyampaikannya kepada orang lain termanifestasikan dalam kuliah-kuliah terkenal tentang etika yang beliau mulai memberikannya di Qum pada awal 1930.
Kuliah-kuliah Khomeini menarik banyak audies dari luar dan dalam lembaga pengajaran agama dan memiliki dampak luar biasa pada semua orang yang menghadiri kuliah-kuliahnya. Muthahhari membuat perkenalan pertamanya dengan Ayatullah Khomeini pada kuliah-kuliah ini :
Ketika aku pindah ke Qum, aku menemukan objek keinginanku pada sesosok pribadi yang memiliki seluruh sifat Mirza Mahdi (Syahidi Razavi) di samping lain-lainya yang secara istimewa ia miliki. Aku menyadari bahwa dahaga jiwaku akan terpuaskan pada air mata bening pribadi itu. Walaupun aku masih belum menyelesaikan tahap-tahap pendahuluan dari studi-studinya dan belum memenuhi syarat untuk naik ke jenjangstudi ilmu-ilmurasional (ma’qulat), kuliah-kuliah tentang etika yang diberikan oleh pribadi tercinta itu setiapkamis dan jumat tidak terbatas pada etika dalam pengertian kering dan akademik tapi menyentuh masalah irfan dan wisata spritual, dan dengan demikian, kuliah-kuliah itu menimbulkan sedemikian besar kegairahanku hingga efeknya tetap ada bersamaku hingga senin atau selasa berikutnya. Suatu bagian penting dari kepribadian intelektual dan spritualku mengambil bentuk di bawah pengaruh kuliah-kuliah itu dan pelajaran-pelajaran lainnya yang aku jalani salam dua belas tahun melalui ustad Ilahi (maksudnya Ayatullah Khomeini).
Sekitar 1946, Ayatullah Khomeini mulai memberikan kuliah kepada sekelompok kecil pelajar yang termasuk di dalamnya Muthahhari dan teman seruangannya pada Madrasah Fayziya, Ayatullah Muntazhari, tentang kedua naskah utama filsafat, Asfar al-Arba’ah karya Mulla Hadi Sabzwari (q.s). Partisipasi Muthahhari dalam kelompok ini, yang terus bertemu hingga sekitar 1951, memungkinkannya untuk membangun hubungan-hubungan yang lebih intim dengan gurunya. Juga pada tahun 1946, atas permintaan Muthahhari dan Muntazhari, Ayatullah Khomeini mengajarkan kuliah formal pertamanya tentang Fikih dan Ushul, mengambil bab tentang dalil-dalil rasionaldari jilid kedua Kifayat al-Ushul  karya Akhund Khurasani sebagai naskah pengajarannya. Muthahhari mengikuti kuliahnya penuh perhatian, padahal ia masih mengikuti studi-studi fikihnya pada Ayatullah Burujerdi.
Pada dua dekade pertama pascaperang, Ayatullah Khomeini melatih sejumlah pelajar di Qum yang menjadi pemimpin-pemimpin Revolusi Islam dan Repbulik Islam sehingga melalui mereka (dan secara langsung), kesan kepribadian beliau tampak pada seluruh perkembangan utama dekade yang lalu. Namun, tidak ada di antara para murid beliau yang memiliki hubungan pertalian serupa seperti Muthahhari, suatu pertalian yang Ayatullah Khomeini sendiri telah memberikan kesaksian untuknya. Muris dan guru berbagai keterkaitan besar terhadap selurh aspek pengetahuan tradisional, tanpa menjadi tawanannya; suatu visi Islam yang komprehensif sebagai sebuah sistem total kehidupan dan keimanan, dengan makna khusus yang dianggap berasal dari aspek-aspek filosofis dan mistisnya; suatu loyalitas mutlak kepada lembaga agama, ditempa oleh kesadaran tentang keharusan perbaikan; sebuah keinginan untuk perubahan sosial dan politik, disertai dengan makna besar tentang strategi dan pemilihan waktu; sebuah kemampuan untuk mencapai di luar lingkup agama secara tradisional, serta memperoleh perhatian dan loyalitas dari kaum terdidik sekuler.
Di antara guru-guru lainya yang pengaruhnya dirasakan Muthahhari di Qum adalah pakar besar tafsir Quran dan filosof, Ayatullah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i (q.s). muthahhari ikut serta dalam pelajaran-pelajaran Thabathaba’i tentang kitab Al-Syifa’  karya Abu Ali Ibn Sina dari 1950 hingga 1953, dan pertemuan-pertemuan malam jumat yang berlangsung di bawah arahannya. Subjek dari pertemuan-pertemuan ini adalah filsafat materialis, sebuah pilihan luar biasa bagi sekelompok ulama tradisional. Muthahhari sendiri untuk pertama kali memahami minat besar pada filsafat materialis, terutama Marxisme, segera setelah naik ke jenjang studi formal ilmu-ilmu rasional.
Menurut ingatannya sendiri, pada sekitar 1946 ia mulai mempelajari terjemahan-terjamahan Persia tentang literatur Marxis yang dipublikasikan oleh Partai Tudeh, organisasi Marxis utama di Iran dan pada waktu itu merupakan kekuatan penting di pentas politik. Di samping itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritis utama Partai Tudeh, dan publikasi-publikasi Marxis dalam bahasa Arab yang berasal dari Mesir. Pada awalnya ia mengalami sedikit kesulitan memahami naskah-naskah ini sebab ia tidak terbiasa dengan terminologi filsafat modern, tetapi dengan terus berusaha keras (yang meliputi penyusunan sebuah sinopsis buku Elemntary Principles of Philosophy karya Georges Pulitzer), ia berhasil menguasai seluruh subjek tentang filsafat materialis. Penguasaan ini membuatnya menjadi seorang kontributor penting untuk lingkaran Thabathaba’i dan kemudian, setelah ia pindah ke Teheran, menjadi seorang pejuang efektif dalam perang ideologi melawan Marxisme dan interpretasi-interpretasi berpengaruh Marxis tentang Islam.
Sejumlah pembuktian kesalahan-kesalahan tentang Marxisme telah diuji coba di Dunia Islam, baik di Iran maupun di tempat lain, namun hampir semuanya gagal karena ketidakcocokkan-ketidakcocokan yang nyata dari Marxisme dengan kepercayaan agama serta kegagalan-kegagalan politik dan inkonsistensi partai-partai politik Marxis. Sebaliknya, Muthahhari mengkaji akar-akar filosofis dari persoalan tersebut dan dengan logika yang teliti menunjukkan sifat hipotesis kontradiktif dan arbitratif dari prinsip-prinsip utama Marxisme. Tulisan-tulisan polemiknya banyak tercirikan melalui kekuatan intelektual dibandingankan dengan kekuatan retorika atau emosional.
Namun, menurut Muthahhari, filsafat adalah jauh melebihi sebuah alat polemik atau disiplin intektual. Filsafat merupakan gaya khusus keberagaman, sebuah cara untuk memahami dan memformulasikan Islam. Muthahhari sesunguhnya memiliki tradisi kepedulian filosofis Syi’ah yang minimal mundur sejauh Nashiruddin Thusi, salah satu pahlawan pribadi Muthahhari. Untuk mengatakan bahwa pandangan Muthahhari tentang Islam berwatak filosofis tidaklah bermakna bahwa ia kekurangan spritualitas atau ditakdirkan untuk menundukkan dogma wahyu kepada interpretasi filosofis dan memaksakan terminologi filosofis atas seluruh bidang agama. Sebaliknya, itu bermakna bahwa ia memandang pencapaian pengetahuan dan pemahaman sebagai tujuan utama dan manfaat agama dan karena alasan itu ia memberikan filsafat tempat utama dan tertentu di antara disiplin-disiplin ilmu yang ada dalam lembaga agama. Dalam hal ini, ia berbeda dengan sejumlah ulama yang menjadikan fikih sebagai kurikulum utama. Ia berbeda dengan kelompok modernis yang bagi mereka filsafat merepresentasikan penyusupan paham Yunani atau Helenistik ke dalam dunia Islam. Ia juga berbeda dengan semua orang yang semangat revolusioner mereka telah membuat mereka tidak sabar dengan pemikiran filosofis yang bersifat hati-hati.
Aliran filsafat khusus yang dianut Muthahhari adalah filsafat Mulla Shadra, “Filsafat yang Menjulang” (al-hikmah al-muta’aliyah) yang berusaha mengombinasikan metode-metode deduksi filosofis Muthahhari memilki watak tenang dan sejuk, baik dalam perilaku kesehariannya maupun dalam tulisan-tulisannya. Bahkan, ketika ia terlibat dalam polemik-polemik, ia selalu berperilaku santu dan biasanya ia menahan diri untuk mengucapkan kata-kata yang bersifat emosional dan tidak layak. Namun, berkaitan dengan kesetiaannya kepada Mulla Shadra yang habis-habisan akan dibelanya walaupun itu berupa kecaman ringan atau insidental, dan ia memilih nama”Shadra” untuk cucu pertamanya juga untuk usaha penerbitannya di Qum yang memproduksi buku-bukunya.
Sejauh menyangkut mazhab filsafat Shadra, ia berusaha menggabungkan metode-metode pencerahan batiniah dan refleksi intektual, maka tidak mengherankan bahwa itu menimbulkan beragama interpretasi oleh mereka yanglebih condong kepada salah satu metode dibandingkan dengan metode lainnya. Untuk menilai tulisan-tulisannya, Muthahhari memiliki orang-orang yang unggul dalam hal dimensi intelektual ajaran Shadra. Ada sedikit nada mistis atau sangat spritual yangdi temukan dalam eksponen-eksponen pemikiran Shadra lainnya, mungkin karena Muthahhari memandang pengalaman-pengalaman batiniahnya sendiri sebagai tidak relevan dengan tugas pengajarannya ketika ia terlibat atau bahkan sebagai rahasia inti yang harus ia sembunyikan. Namun, lebih mungkin adalah bahwa kesukaannya yang luar biasa terhadap dimensi filosofis dari “filsafat yang menjulang” merupakan sebuah ekspresi dari tempreman dan kejeniusan Muthahhari sendiri. Dalam hal ini, dia sangat berbeda mentor agungnya, Ayatullah Khomeini, yang banyak statemen poliliknya terus diliputi dengan bahasa dan hal-hal irfan dan spritualitas.
Pada 1952, Muthahhari meninggalkan Qum menuju Teheran, tempat ia menikahi putri dari Ayatullah Ruhani (q.s) dan mulai mengajar filsafat di Madrasah Marwi, salah satu lembaga utama pendidikan agama di ibukota. Ini bukanlah awal dari karirnya mengajar di Qum ia sudah mulai mengajar topik-topik tertentu logika, filsafat, teologi dan fikih. Sewaktu ia sendiri masih berstatus seorang pelajar. Namun, Muthahhari tampak menjadi begitu tidak sabar dengan suasana Qum yang agakdibatasi, dengan faksionalisme yang mengemuka di antara sebagian pelajar dan guru-guru mereka, dan jauhnya mereka dari kepedulian terhadap masyarakat. Prospek-prospek masa depannya sendiri di Qum juga tidak menentu.
Di Teheran, Muthahhari menemukan bidangnya yang lebih luas dan lebih memuaskan dalam hal aktivitas keberagamaan, pendidikan, dan pada akhirnya politik. Pada 1954, ia diundang untuk mengajar filsafat di Fakultas Teologi dan ilmu-ilmu Islam dari Universitas Teheran, tempat ia mengajar selama dua puluh dua tahun.  Pertama-tama regularisasi dari pengangkatannya dan kemudian promosinya menjadi profesor ditunda oleh kemunculan kolega-kolega menengahnya dan oleh pertimbangan-pertimbangan politik (karena kedekatan Muthahhari dengan Ayatullah Khomeini dikenal luas). Namun, kehadiran figur seperti Muthahhari dalam kampus sekuler adalah signifikan dan efektif. Banyak orang yang berlatar belakang madrasah telah datang untuk mengajar di kampus-kampus, dan mereka rata-rata berpengatahuan luas. Akan tetapi, hampir tanpa kecuali mereka telah mendepak pandangan dunia Islam, bersama dengna sorban-sorban dan jubah-jubah mereka. Sebaliknya, Muthahhari, datang ke kampus sebagai seorang yang pandai mengemukakan pikiran-pikirannya dan seorang eksponen yang meyakini pengetahuan dan hikmah Islam, hampir bisa disebut sebagai seorang utusan lembaga agama kepada lembaga berpendidikan sekuler. Banyak orang meresponnya karena kekuatan-kekuatan pendidikan yang ia pertama-tama tunjukkan di Qum dan kini sangat berkembang. Selain membangun reputasinya sebagai seorang dosen kampus yang populer dan berdaya guna. Muthahhari juga ikut serta dalam aktivitas-aktivitas dari sejumlah organisasi (anjumanha) Islam profesional yang telah eksis di bawah pengawasan Mahdi Bazargan dan Ayatullah Taleqani (q.s), dengan memberikan kuliah kepada dokter, insinyur, guru dan membantu mengoordinasikan pekerjaan mereka. Sesungguhnya sejumlah buku Muthahhari meliputi transkripsi-transkripsi yang direvisi dari serangkaian kuliah yang disampaikan pada organisasi-organisasi Islam.
Keinginan-keinginan Muthahhari pada sebuah difusi yang lebih luas dari pengetahuan agama dalam masyarakat adn keterlibatan yang lebih efektif dari para ulama dalam masalah-masalah sosial membawanya pada 1960 untuk menduduki kepemimpinan sekelompok ulama Teheran yang dikenal sebagai Anjuman-e-Mahana-yi Dini (“The Monthly Religious Society”). Para anggota kelompok ini, yang termasuk almarhum Ayatullah Behesti (q.s), teman sekolah Muthahhari di Qum, mengorganisasikan ceramah-ceramah umum bulanan yang dirancang secara simultan untuk menunjukkan relevansi Islam dengan persoalan-persoalan konteporer dan menstimulir pemikiran refomis di antara para ulama. Ceramah-ceramah dicetak di bawah judul Guftar-e-Mah (“Discourse of the Month”) dan terbukti sangat populer. Namun, pemerintah melarangnya pada Maret 1963 ketika Ayatullah Khomeini memulai perlawanan publiknya terhadap rezim Pahlevi.
Upaya sejenis yang jauh lebih penting pada 1965 adalah pendirian Husainiyah Irsyad, sebuah lembaga di utara Teheran, yang dirancang untuk meraih dukungan kesetiaan kaum muda yang terdidik secara sekuler terhadap Islam. Muthahhari termasuk di antara dewan pengarah. Ia juga memberikan ceramah di Husainiyah Irshad serta menjadi editor dan kontributor untuk beberapa penerbitannya. Lembaga tersebut mampu menarik banyak sekali orang yang menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan, tetapi kesuksesan ini-yang tak diragukan telah melampaui harapan-harapan para pendirinya, dikalahkan oelh sejumlah persoalan internal. Salah satu persoalannya adalah konteks politik dari aktivitas-aktivitas lembaga tersebut, yang menimbulkan beragama pendapat tentang kemungkinan-kemungkinan menitikberatkna pada penceramahan reformis daripada konfrotasi politik.
Umumnya kata yang terucap memainkan peran yang lebih efektif dan lebih segera dalam mempromosikan perubahan revolusioner dibandingkan dengan kata yang tertulis, dan akan mungkin untuk menyusun sebuah ontologi dari pidato-pidato, pesan-pesan, dan ceramah-ceramah utama yang telah memajukan Revolusi Islam Iran. Namun, penjelasan konten ideologi dari revolusi dan demarkasinya dari aliran-aliran pemikiran yang menentang atau berkompetisi perlu bergantung pada kata yang tertulis, pada komposisi dari karya-karya yang menjelaskan secara rinci doktrin Islam secara sistematis, dengan perhatian khusus terhadap persoalan-persoalan dan hal-hal konteporer. Dalam area ini, kontribusi Muthahhari adalah unik dalam besaran dan cakupannya. Muthahhari menulis dengan tekun dan kontiyu, sejak masa belajarnya di Qum hingga 1979, tahun kesyahidannya. Banyak karyanya ditandai oleh nada dan penekanan filosofis yang sama dan telah tercatat, dan ia mungkin menganggap sebagai karyanya yang paling penting Ushul-e-Falsafa wa Ravish-e-Ri’alism (“Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme”), catatan tentang ceramah-ceramah Thabathaba’i pada malam majelis malam Jumat di Qum, dilengkapi dengan komentar-komentar Muthahhari. Namun, ia tidak memilih topik dari buku-bukunya sesuai dengan kepentingan atau kesukaan pribadi, tetapi sesuai dengan persepsinya tentang kebutuhan. Kapan pun sebuah buku tidak memiliki topik vital dalam hal kepentingan Islam kontemporer, Muthahhari berusaha menyediakannya.
Dengna mudah ia mulai mengonstruksi unsur-unsur utama dari perpustakaan Islam kontemporer. Buku-buku seperti Adl-e-Ilahi (“Keadilan Ilahi”), Nizam-e-Huquq-e-Zan dar Islam (“Hak-hak Wanita dalam Islam”), Mas’ala-yi Hijab (“Persoalan Hijab”), Ashna’i ba Ulum-e-Islam (“sebuah Pengatar kepada Ilmu-ilmu Islam”), dan Muqaddima bar Jahanbini-yi Islami (“Mukadimah kepada Pandangan Dunia Islam”) semuanya ditunjukan untuk memenuhi suatu kebutuhan, untuk berkontribusi terhadap pemahaman Islam yang akurat dan sistematik serta persoalan-persoalan dalam masyarakat Islam.
Buku-buku ini dapat dianggap sebagai kontribusi yang sangat abadi dan penting bagi lahirnya kembali Iran Islami, namun aktivitasnya juga memiliki dimensi politik yang walaupun derajatnya dibawah aktifitas utamanya, tetapi tidak semestinya dipangadang rendah. Sewaktu masih berstatus pelajar dan calon guru di Qum, ia telah berusaha keras menanamkan kesadaran politik pada teman-teman sejawatnya dan yang terutama dekat dengan mereka yang menjadi anggota-anggota Fida’iyan-i Islam, sebuah organisasi militan yang didirikan pada 1945 oleh Nawwab Safawi. Markas Besar Fida’iyan di Qum adalah Madrasah Fayziya, tempat Muthahhari sendiri berada, dan ia tidak berhasil mencegah mereka dipindahkan dari Madrasah tersebut oleh Ayatullah Burujerdi, yang dengan tegas menantang segala konfrontasi politik dengan rezim Syah.
Dalam perjuangan menasionalisasikan Industri Minyak Iran, Muthahhari bersimpati terhadap upaya-upaya Ayatullah Kasyani (q.s) dan DR. Muhammad Mushaddiq, walaupun ia mengkritisi Dr. Mushaddiq karena yang bersangkutan menganut nasionalisme sekuler. Setelah kepindahannya ke Teheran, Muthahhari berkolaborasi dengan Gerakan Kemerdakaan-nya Bazargan dan Talegani, namun ia tidak pernah menjadi salah satu figur utama dalam kelompok tersebut.
Konfrontasi pertamanya yang serius dengan rezim Syah berlangsung dalam pemberontakan 15 Khurdad 1342/6 Juni 1963, ketika ia menunjukkan dirinya secara politik dan intektual sebagai seorang pengikut Ayatullah Khomeini dengan mendistribusikan deklarasi-deklarasi Khomeini dan memeberikan dukungan bagi Khomeini dalam ceramah-ceramah yang ia berikan. Akhirnya, ia pun ditahan dan dipenjara selama empat puluh tiga hari. Setelah kebebasannya, ia ikut serta secara aktif dalam berbagai organisasi yang ada guna memelihara momentum yang telah tercipta melalui pemberontakan tersebut. Yang sangat penting di antara organisasi-organisasi itu adalah Asosiasi Alim Ulama Militan (the Association of Militant Religious Scholars). Pada november 1964, Ayatullah Khomeini memasuki masa 14 tahun pengasingannya, pertama-tama dihabiskan di Turki kemudian di Najaf. Sepanjang periode ini, Muthahhari tetap berhubungan dengan Ayatullah Khomeini, baik secara langsung melalui kunjungan-kunjungannya ke Najaf maupun secara tidak langsung.
Ketika Revolusi Islam mendekati puncak kemenangannya pada musim dingin 1978 dan Ayatullah Khomeini meninggalkan Najaf menuju Paris, Muthahhari termasuk diantara orang-orang yang pergi ke Paris untuk bertemu dan berkonsultasi dengan Ayatullah Khomeini. Kedekatannya dengan Ayatullah Khomeini ditegaskan melalui pengangkatannya pada Dewan Revolusi Islam, suatu dewan yang eksistensinya diumumkan oleh Ayatullah Khomeini pada 12 januari 1979.
Pengabdian-pengabdian Muthahhari kepada Revolusi Islam secara brutal terhenti melalui pembunuhannya pada 1 mei 1979. Pembunuhan itu dilakukan oleh sekelompok yang dinamakan sebagai Furqan, yang mengklaim organisasi mereka sebagai pendukung-pendukung “Islam Progresif”, organisasi yang konon membebaskan diri mereka dari pengaruh distortif para ulama. Walaupun Muthahhari tampaknya telah menjadi ketua Dewan Revolusi Islam pada waktu pembunuhannya, namun ia Syahid sebagai seorang pimikir dan penulis.
Pada 1972, Muthahhari menerbitkan buku berjudul Illal-i Girayish ba Maddigari (Alasan-alasan Berpaling pada Materialisme”). Sebuah karya yang penting yang menganalisis latar belakang historis dari materialisme di Eropa dan Iran. Pada waktu revolusi, ia menulis sebuah pengatar untuk edisi kedelapan buku ini, yang menyerang distorsi-distorsi pemikiran Hafiz dan Hallaj yang telah menjadi tren hidup dalam beberapa segmen masyarakat Iran dan membuktikan kesalahan interpretasi-interpretasi materialistik tertentu terhadap Al-Quran. Sumber interpretasi-interpretasi dimaksud adalah kelompok Furqan, yang berusaha mengingkari konsep-konsep Al-Quran yang fundamental, seperti transendensi Ilahi dan realitas akhirat. Sebagaiman selalu dalam hal-hal demikian, sikap Muthahhari adalah persuasif dan santu, tidak mengumbar kemarahan dan kecaman. Bahkan, ia mengajak Furqan untuk memberikan respon dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mengomentari yang mereka berikan adalah pembunuhan dirinya.
Ancaman untuk membunuh semua orang yang menentang mereka sudah terkandung dalam publikasi-publikasi Furqan. Dan, setelah penerbitan edisi baru dari ‘Illal-e-Girayish ba Maddigari, Muthahhari kelihatannya sudah memiliki pertanda atau firasat tentang kesyahidannya. Menurut pengakuan putranya, Mujtaba, sejenis pelepasan diri dari urusan-urusan duniawi menjadi tampak padanya. Ia memperhebat shalat-shalat bacaan-bacaanm Al-Quran. Ia pernah bermimpi bahwa ia berada di hadapan Rasulullah saw bersama dengan Ayatullah Khomeini (q.s).
Pada selasa, 1 mei 1979, Muthahhari pergi ke rumah Dr. Yahullah Sahabi untuk berkumpul dengan para anggota lain dari Dewan Revolusi Islam. Sekitar pukul 10.30 malam, ia dan peserta pertemuan lainya, Insinyur Katita’i, meninggalkan rumah Sahabi. Berjalan sendiri menuju sebuah gang yang dekat dengan rumah itu dimana mobil yang akan membawanya pulang di parkit disitu, Muthahhari tiba-tiba mendengar suara yang tak ia kenal memanggil-manggilnya. Ia memandang sekeliling untuk melihat dari mana asal suara itu, dan sebutir pelurupun menghantam kepalanya, masuk dibawa gendang telinga kanan dan keluar diatas alis kirinya. Ia hampir mati seketika. Walaupun ia dilarikan di rumah sakit terdekat, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali kbar duka cita kematiannya. Tubuhnya tetap berada di rumah sakit hingga esok harinya. Kemudian pada hari kamis, di tengah-tengah perkabungan yang meluas di senatero negeri, mayatnya pertama-tama di bawa ke Universitas Teheran untuk dishalatkan dan kemudian di Qum untuk dikuburkan, bersebelahan dengan makam Syekh Abdulkarim Ha’iri (q.s).
Ayatullah Khomeini (q.s) menangis didepan umu ketika Muthahhari dikuburkan di Qum, dan beliau melukiskan Muthahhari sebagai “putra tercintanya,” dan sebagai “buah kehidupanku”, serta sebagai “belahan jiwanya.” Namun, dalam euloginya Ayatullah Khomeini juga menunjukkan bahwa dengan pembunuhan Muthahhari tidaklah berkurang kepribadiannya dan tidak mengganggu jalannya revolusi:
Biarlah para pelaku kejahatan mengetahui bahwa dengan kepergian Muthahhari-kepribadian Islaminya, filsafatnya dan pengetahuannya, tidak pergi meninggalkan kita. Pembunuhan-pembunuhan tidak dapat menghancurkan kepribadian Islami dari orang-orang besar Islam... Islam tumbuh berkembang melalui pengorbanan dan kesyahidan pribadi-pribadinya yang mulia. Seak turunnya wahyu hingga kini, Islam selalu ditemani oleh kesyahidan dan kepahlawanan.
Ketokohan dan peninggalan Ayatullah Muthahhari sudah tentu tak terlupakan dalam Republik Islam, sedemikian tingginya hingga ketiadaannya hampir sama mengesankan dengan prestasi-prestasi hidupnya. Ulang tahun kesyahidannya secara reguler diperingati di seluruh Iran. Beberapa tulisan-tulisannya yang belum sempat diterbitkan akhirnya dicetak untuk pertama kalinya. Seluruh kumpulan karya tulisnya kini didistirbusikan dan dikaji dalam skala massif. Dalam kata-kata Ayatullah Khomeini, sewaktu menjadi Presiden Iran, karya-karya Muthahhari telah berhasil membentuk “infrastruktur intektual dari Republik Islam”.
Maka itum upaya-upaya yang sedang berlangsung adalah mempromosikan pengetahuan dari tulisan-tulisan Muthahhari di luar dunia yang berbahasa Persia juga, dan Kementrian Bimbingan Islam telah mensponsori penerjemahan karya-karyanya ke dalam beragam bahasa, seperti Spanyol dan Malayu. Namun, jika Iran revolusioner terbukti mampu untuk membangun pemerintahan, masyarakat, ekonomi dan kultur yang Islami secara autentik dan integral. Karena kehidupan Muthahhari berorientasi menuju suatu sasaran yang melampaui ekspresi final dari sikap tidak menonjolkan diri.

Referensi : Buku Saku Bimbingan Untuk Generasi Muda, Shadra Press, 2011. Jakarta       

1 comment: