Biografi Singkat
Ayatullah Murtadha Muthahhari
Ayatullah Murtadha Muthahhari q.s
adalah salah seorang arsitek utama dari kesadaran Islam baru di Iran. Ia
dilahirkan pada 2 februari 1920 di Fariman. Fariman yang pada waktu itu adalah
sebuah desa, sekarang berkembang menjadi sebuah kotamadya yang berjarak sekitar
60 km dari Marsyhad, pusat ziarah dan pengajaran besar Syi’ah di Iran Timur.
Ayahnya bernama Muhammad Husain Muthahhari, seorang ulama terkenal yang belajar
di Najaz dan menghabiskan beberapa tahun di Mesir dan Hijaz sebelum kembali ke
Fariman. Muthahhari senior memiliki posisi pemikiran yang berbeda dibandingkan
dengan putranya, yang bagaimanapun lebih cemerlang darinya. Ayahnya tekun
mengeluti karya-karya pakar hadis kondang, Mulla Muhammad Baqir Majlisi q.s.
sebaliknya, sang putra yang merupakan pahlawan besar di antara para ulama
Syi’ah dahulu adalah seorang teosofis Mulla Shadra q.s.
Namun, Ayatullah Muthahhari
selalu menunjukkan respek dan kecintaan besar terhadap ayahnya, yang juga merupakan
guru pertamanya. Ia mendedikasikan kepada ayahnya salah satu bukunya yang
sangat populer, Dastan-e-Rastan (The Epic
of the Righteous), diterbitkan pertama kali pada tahun 1960, dan yang
kemudian terpilih sebagai “Book of the Year” oleh Komisi Nasional Iran untuk
UNESCO pada 1965.
Pada usia sangat muda, 12 tahun,
Muthahhari memulai studi-studi formal agamanya pada lembaga pendidikan di
Masyhad, yang pada waktu itu dalam kondisi merosot, sebagaian disebabkan
alasan-alasan internal dan sebagian disebabkan tindakan-tindakan represif yang
dipimpin oleh Ridha Khan, otokrat Pahlevi yang pertama, terhadap semua lembaga
Islam. Namun di Masyhad, Muthahhari menemukan cintanya yang besar terhadap
filsafat, teologi dan irfan, suatu cinta yang tetap ada bersamanya sepanjang
hidupnya dan membentuk keseluruhan pandangannya tentang agama:
“aku dapat mengatakan bahwa
ketika aku memulai studi-studiku di Masyhad dan sibuk mempelajari bahasa Arab
dasar, para filosof, para arif, dan teologi membentuk aku terkesan jauh melebihi
para ulama dan ilmuwan lainnya, seperti para peneliti dan penyelidik. Tentu
saja aku belum mengenal ide-ide mereka, namaun aku menganggap mereka sebagai
pahlawan-pahlawan di pentas pemikiran.”
Demikianlah, figur di Masyhad
yang menggelorakan pengabdian terbesar pada Muthahhari adalah Mirza Mahdi
Syahidi Razavi q.s, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936,
sebelum Muthahhari cukup dewasa untuk ikut serta dalam pelajaran-pelajaran di
kelasnya, dan terutama disebabkan oleh alasan ini, yaitu meninggalkan Masyhad
pada tahun berikutnya untuk bergabung dengan sejumlah siswa yang belajar di
lembaga pendidikan (hawzah) di Qum.
Berkat kepengurusan kapabel Syekh
Abdulkarim Ha’iri q.s, Qum bergerak untuk menjadi ibukota spritual dan
intelektual dari Iran Islam. Sementara itu, di saat yang sama Muthahhari mempu
memperoleh manfaat disana dari pengajaran sejumlah besar ulama. Ia mempelajari
fikih dan ushul, subjek-subjek inti dari kurikulum tradisional pada Ayatullah
Hujjat Kuhkamari q.s, Ayatullah Sayyid Muhammad Damad(q.s), Ayatullah Sayyid
Muhammad Ridha Gulpayagani (q.s), dan Haji Sayyid Shadruddin ash-Shadr (q.s).
akan tetapi lebih penting dari semua ini adalah Ayatullah Burujerdi (q.d.s),
penerus dari Ha’iri sebagai direktur hawzah di Qum. Muthahhari menghadiri
kuliah-kuliahnya sejak kedatangannya di Qum pada 1944 hingga kepulangannya ke
Teheran pada 1952. Ia menunjukkan respek yang mendalam terhadapnya.
Kepatuhan yang luar biasa dan
pertalian yang dekat mencirikan hubungan Muthahhari dengan mentor utamanya di
Qum, Ayatullah Ruhullah Khomeini (q.s). ketika Muthahhari tiba di Qum,
Ayatullah Khomeini adalah seorang pengajar muda, namun beliau sudah menjadi
pusat perhatian teman sejawatnya disebabkan keluasan dan kesempurnaan visi
Islamnya dan kemampuannya untuk menyampaikannya kepada orang lain
termanifestasikan dalam kuliah-kuliah terkenal tentang etika yang beliau mulai
memberikannya di Qum pada awal 1930.
Kuliah-kuliah Khomeini menarik
banyak audies dari luar dan dalam lembaga pengajaran agama dan memiliki dampak
luar biasa pada semua orang yang menghadiri kuliah-kuliahnya. Muthahhari
membuat perkenalan pertamanya dengan Ayatullah Khomeini pada kuliah-kuliah ini
:
“Ketika aku pindah ke Qum, aku menemukan objek keinginanku pada sesosok
pribadi yang memiliki seluruh sifat Mirza Mahdi (Syahidi Razavi) di samping
lain-lainya yang secara istimewa ia miliki. Aku menyadari bahwa dahaga jiwaku
akan terpuaskan pada air mata bening pribadi itu. Walaupun aku masih belum
menyelesaikan tahap-tahap pendahuluan dari studi-studinya dan belum memenuhi
syarat untuk naik ke jenjangstudi ilmu-ilmurasional (ma’qulat), kuliah-kuliah
tentang etika yang diberikan oleh pribadi tercinta itu setiapkamis dan jumat
tidak terbatas pada etika dalam pengertian kering dan akademik tapi menyentuh
masalah irfan dan wisata spritual, dan dengan demikian, kuliah-kuliah itu
menimbulkan sedemikian besar kegairahanku hingga efeknya tetap ada bersamaku
hingga senin atau selasa berikutnya. Suatu bagian penting dari kepribadian
intelektual dan spritualku mengambil bentuk di bawah pengaruh kuliah-kuliah itu
dan pelajaran-pelajaran lainnya yang aku jalani salam dua belas tahun melalui
ustad Ilahi (maksudnya Ayatullah Khomeini).
Sekitar 1946, Ayatullah Khomeini
mulai memberikan kuliah kepada sekelompok kecil pelajar yang termasuk di
dalamnya Muthahhari dan teman seruangannya pada Madrasah Fayziya, Ayatullah
Muntazhari, tentang kedua naskah utama filsafat, Asfar al-Arba’ah karya Mulla Hadi Sabzwari (q.s). Partisipasi
Muthahhari dalam kelompok ini, yang terus bertemu hingga sekitar 1951,
memungkinkannya untuk membangun hubungan-hubungan yang lebih intim dengan
gurunya. Juga pada tahun 1946, atas permintaan Muthahhari dan Muntazhari,
Ayatullah Khomeini mengajarkan kuliah formal pertamanya tentang Fikih dan Ushul,
mengambil bab tentang dalil-dalil rasionaldari jilid kedua Kifayat al-Ushul karya
Akhund Khurasani sebagai naskah pengajarannya. Muthahhari mengikuti kuliahnya
penuh perhatian, padahal ia masih mengikuti studi-studi fikihnya pada Ayatullah
Burujerdi.
Pada dua dekade pertama
pascaperang, Ayatullah Khomeini melatih sejumlah pelajar di Qum yang menjadi
pemimpin-pemimpin Revolusi Islam dan Repbulik Islam sehingga melalui mereka
(dan secara langsung), kesan kepribadian beliau tampak pada seluruh perkembangan
utama dekade yang lalu. Namun, tidak ada di antara para murid beliau yang
memiliki hubungan pertalian serupa seperti Muthahhari, suatu pertalian yang
Ayatullah Khomeini sendiri telah memberikan kesaksian untuknya. Muris dan guru
berbagai keterkaitan besar terhadap selurh aspek pengetahuan tradisional, tanpa
menjadi tawanannya; suatu visi Islam yang komprehensif sebagai sebuah sistem
total kehidupan dan keimanan, dengan makna khusus yang dianggap berasal dari
aspek-aspek filosofis dan mistisnya; suatu loyalitas mutlak kepada lembaga
agama, ditempa oleh kesadaran tentang keharusan perbaikan; sebuah keinginan
untuk perubahan sosial dan politik, disertai dengan makna besar tentang
strategi dan pemilihan waktu; sebuah kemampuan untuk mencapai di luar lingkup agama
secara tradisional, serta memperoleh perhatian dan loyalitas dari kaum terdidik
sekuler.
Di antara
guru-guru lainya yang pengaruhnya dirasakan Muthahhari di Qum adalah pakar
besar tafsir Quran dan filosof, Ayatullah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i (q.s).
muthahhari ikut serta dalam pelajaran-pelajaran Thabathaba’i tentang kitab Al-Syifa’ karya Abu Ali Ibn Sina dari 1950 hingga 1953,
dan pertemuan-pertemuan malam jumat yang berlangsung di bawah arahannya. Subjek
dari pertemuan-pertemuan ini adalah filsafat materialis, sebuah pilihan luar
biasa bagi sekelompok ulama tradisional. Muthahhari sendiri untuk pertama kali
memahami minat besar pada filsafat materialis, terutama Marxisme, segera
setelah naik ke jenjang studi formal ilmu-ilmu rasional.
Menurut
ingatannya sendiri, pada sekitar 1946 ia mulai mempelajari
terjemahan-terjamahan Persia tentang literatur Marxis yang dipublikasikan oleh
Partai Tudeh, organisasi Marxis utama di Iran dan pada waktu itu merupakan
kekuatan penting di pentas politik. Di samping itu, ia membaca tulisan-tulisan
Taqi Arani, teoritis utama Partai Tudeh, dan publikasi-publikasi Marxis dalam
bahasa Arab yang berasal dari Mesir. Pada awalnya ia mengalami sedikit
kesulitan memahami naskah-naskah ini sebab ia tidak terbiasa dengan terminologi
filsafat modern, tetapi dengan terus berusaha keras (yang meliputi penyusunan
sebuah sinopsis buku Elemntary Principles
of Philosophy karya Georges Pulitzer), ia berhasil menguasai seluruh subjek
tentang filsafat materialis. Penguasaan ini membuatnya menjadi seorang
kontributor penting untuk lingkaran Thabathaba’i dan kemudian, setelah ia
pindah ke Teheran, menjadi seorang pejuang efektif dalam perang ideologi
melawan Marxisme dan interpretasi-interpretasi berpengaruh Marxis tentang
Islam.
Sejumlah
pembuktian kesalahan-kesalahan tentang Marxisme telah diuji coba di Dunia
Islam, baik di Iran maupun di tempat lain, namun hampir semuanya gagal karena
ketidakcocokkan-ketidakcocokan yang nyata dari Marxisme dengan kepercayaan
agama serta kegagalan-kegagalan politik dan inkonsistensi partai-partai politik
Marxis. Sebaliknya, Muthahhari mengkaji akar-akar filosofis dari persoalan
tersebut dan dengan logika yang teliti menunjukkan sifat hipotesis kontradiktif
dan arbitratif dari prinsip-prinsip utama Marxisme. Tulisan-tulisan polemiknya
banyak tercirikan melalui kekuatan intelektual dibandingankan dengan kekuatan
retorika atau emosional.
Namun, menurut
Muthahhari, filsafat adalah jauh melebihi sebuah alat polemik atau disiplin
intektual. Filsafat merupakan gaya khusus keberagaman, sebuah cara untuk
memahami dan memformulasikan Islam. Muthahhari sesunguhnya memiliki tradisi
kepedulian filosofis Syi’ah yang minimal mundur sejauh Nashiruddin Thusi, salah
satu pahlawan pribadi Muthahhari. Untuk mengatakan bahwa pandangan Muthahhari
tentang Islam berwatak filosofis tidaklah bermakna bahwa ia kekurangan
spritualitas atau ditakdirkan untuk menundukkan dogma wahyu kepada interpretasi
filosofis dan memaksakan terminologi filosofis atas seluruh bidang agama.
Sebaliknya, itu bermakna bahwa ia memandang pencapaian pengetahuan dan
pemahaman sebagai tujuan utama dan manfaat agama dan karena alasan itu ia
memberikan filsafat tempat utama dan tertentu di antara disiplin-disiplin ilmu
yang ada dalam lembaga agama. Dalam hal ini, ia berbeda dengan sejumlah ulama
yang menjadikan fikih sebagai kurikulum utama. Ia berbeda dengan kelompok
modernis yang bagi mereka filsafat merepresentasikan penyusupan paham Yunani
atau Helenistik ke dalam dunia Islam. Ia juga berbeda dengan semua orang yang
semangat revolusioner mereka telah membuat mereka tidak sabar dengan pemikiran
filosofis yang bersifat hati-hati.
Aliran filsafat
khusus yang dianut Muthahhari adalah filsafat Mulla Shadra, “Filsafat yang
Menjulang” (al-hikmah al-muta’aliyah)
yang berusaha mengombinasikan metode-metode deduksi filosofis Muthahhari
memilki watak tenang dan sejuk, baik dalam perilaku kesehariannya maupun dalam
tulisan-tulisannya. Bahkan, ketika ia terlibat dalam polemik-polemik, ia selalu
berperilaku santu dan biasanya ia menahan diri untuk mengucapkan kata-kata yang
bersifat emosional dan tidak layak. Namun, berkaitan dengan kesetiaannya kepada
Mulla Shadra yang habis-habisan akan dibelanya walaupun itu berupa kecaman
ringan atau insidental, dan ia memilih nama”Shadra” untuk cucu pertamanya juga
untuk usaha penerbitannya di Qum yang memproduksi buku-bukunya.
Sejauh
menyangkut mazhab filsafat Shadra, ia berusaha menggabungkan metode-metode
pencerahan batiniah dan refleksi intektual, maka tidak mengherankan bahwa itu
menimbulkan beragama interpretasi oleh mereka yanglebih condong kepada salah
satu metode dibandingkan dengan metode lainnya. Untuk menilai
tulisan-tulisannya, Muthahhari memiliki orang-orang yang unggul dalam hal
dimensi intelektual ajaran Shadra. Ada sedikit nada mistis atau sangat spritual
yangdi temukan dalam eksponen-eksponen pemikiran Shadra lainnya, mungkin karena
Muthahhari memandang pengalaman-pengalaman batiniahnya sendiri sebagai tidak
relevan dengan tugas pengajarannya ketika ia terlibat atau bahkan sebagai
rahasia inti yang harus ia sembunyikan. Namun, lebih mungkin adalah bahwa
kesukaannya yang luar biasa terhadap dimensi filosofis dari “filsafat yang
menjulang” merupakan sebuah ekspresi dari tempreman dan kejeniusan Muthahhari
sendiri. Dalam hal ini, dia sangat berbeda mentor agungnya, Ayatullah Khomeini,
yang banyak statemen poliliknya terus
diliputi dengan bahasa dan hal-hal irfan dan spritualitas.
Pada 1952,
Muthahhari meninggalkan Qum menuju Teheran, tempat ia menikahi putri dari
Ayatullah Ruhani (q.s) dan mulai mengajar filsafat di Madrasah Marwi, salah
satu lembaga utama pendidikan agama di ibukota. Ini bukanlah awal dari karirnya
mengajar di Qum ia sudah mulai mengajar topik-topik tertentu logika, filsafat,
teologi dan fikih. Sewaktu ia sendiri masih berstatus seorang pelajar. Namun,
Muthahhari tampak menjadi begitu tidak sabar dengan suasana Qum yang
agakdibatasi, dengan faksionalisme yang mengemuka di antara sebagian pelajar
dan guru-guru mereka, dan jauhnya mereka dari kepedulian terhadap masyarakat.
Prospek-prospek masa depannya sendiri di Qum juga tidak menentu.
Di Teheran,
Muthahhari menemukan bidangnya yang lebih luas dan lebih memuaskan dalam hal
aktivitas keberagamaan, pendidikan, dan pada akhirnya politik. Pada 1954, ia
diundang untuk mengajar filsafat di Fakultas Teologi dan ilmu-ilmu Islam dari
Universitas Teheran, tempat ia mengajar selama dua puluh dua tahun. Pertama-tama regularisasi dari
pengangkatannya dan kemudian promosinya menjadi profesor ditunda oleh
kemunculan kolega-kolega menengahnya dan oleh pertimbangan-pertimbangan politik
(karena kedekatan Muthahhari dengan Ayatullah Khomeini dikenal luas). Namun,
kehadiran figur seperti Muthahhari dalam kampus sekuler adalah signifikan dan
efektif. Banyak orang yang berlatar belakang madrasah telah datang untuk
mengajar di kampus-kampus, dan mereka rata-rata berpengatahuan luas. Akan tetapi,
hampir tanpa kecuali mereka telah mendepak pandangan dunia Islam, bersama
dengna sorban-sorban dan jubah-jubah mereka. Sebaliknya, Muthahhari, datang ke
kampus sebagai seorang yang pandai mengemukakan pikiran-pikirannya dan seorang
eksponen yang meyakini pengetahuan dan hikmah Islam, hampir bisa disebut
sebagai seorang utusan lembaga agama kepada lembaga berpendidikan sekuler.
Banyak orang meresponnya karena kekuatan-kekuatan pendidikan yang ia
pertama-tama tunjukkan di Qum dan kini sangat berkembang. Selain membangun
reputasinya sebagai seorang dosen kampus yang populer dan berdaya guna.
Muthahhari juga ikut serta dalam aktivitas-aktivitas dari sejumlah organisasi (anjumanha) Islam profesional yang telah
eksis di bawah pengawasan Mahdi Bazargan dan Ayatullah Taleqani (q.s), dengan
memberikan kuliah kepada dokter, insinyur, guru dan membantu mengoordinasikan
pekerjaan mereka. Sesungguhnya sejumlah buku Muthahhari meliputi
transkripsi-transkripsi yang direvisi dari serangkaian kuliah yang disampaikan
pada organisasi-organisasi Islam.
Keinginan-keinginan
Muthahhari pada sebuah difusi yang lebih luas dari pengetahuan agama dalam
masyarakat adn keterlibatan yang lebih efektif dari para ulama dalam
masalah-masalah sosial membawanya pada 1960 untuk menduduki kepemimpinan
sekelompok ulama Teheran yang dikenal sebagai Anjuman-e-Mahana-yi Dini (“The Monthly Religious Society”). Para
anggota kelompok ini, yang termasuk almarhum Ayatullah Behesti (q.s), teman
sekolah Muthahhari di Qum, mengorganisasikan ceramah-ceramah umum bulanan yang
dirancang secara simultan untuk menunjukkan relevansi Islam dengan
persoalan-persoalan konteporer dan menstimulir pemikiran refomis di antara para
ulama. Ceramah-ceramah dicetak di bawah judul Guftar-e-Mah (“Discourse of the Month”) dan terbukti sangat
populer. Namun, pemerintah melarangnya pada Maret 1963 ketika Ayatullah
Khomeini memulai perlawanan publiknya terhadap rezim Pahlevi.
Upaya sejenis
yang jauh lebih penting pada 1965 adalah pendirian Husainiyah Irsyad, sebuah
lembaga di utara Teheran, yang dirancang untuk meraih dukungan kesetiaan kaum
muda yang terdidik secara sekuler terhadap Islam. Muthahhari termasuk di antara
dewan pengarah. Ia juga memberikan ceramah di Husainiyah Irshad serta menjadi
editor dan kontributor untuk beberapa penerbitannya. Lembaga tersebut mampu
menarik banyak sekali orang yang menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan, tetapi
kesuksesan ini-yang tak diragukan telah melampaui harapan-harapan para
pendirinya, dikalahkan oelh sejumlah persoalan internal. Salah satu
persoalannya adalah konteks politik dari aktivitas-aktivitas lembaga tersebut,
yang menimbulkan beragama pendapat tentang kemungkinan-kemungkinan
menitikberatkna pada penceramahan reformis daripada konfrotasi politik.
Umumnya kata
yang terucap memainkan peran yang lebih efektif dan lebih segera dalam
mempromosikan perubahan revolusioner dibandingkan dengan kata yang tertulis,
dan akan mungkin untuk menyusun sebuah ontologi dari pidato-pidato,
pesan-pesan, dan ceramah-ceramah utama yang telah memajukan Revolusi Islam
Iran. Namun, penjelasan konten ideologi dari revolusi dan demarkasinya dari
aliran-aliran pemikiran yang menentang atau berkompetisi perlu bergantung pada
kata yang tertulis, pada komposisi dari karya-karya yang menjelaskan secara
rinci doktrin Islam secara sistematis, dengan perhatian khusus terhadap
persoalan-persoalan dan hal-hal konteporer. Dalam area ini, kontribusi
Muthahhari adalah unik dalam besaran dan cakupannya. Muthahhari menulis dengan
tekun dan kontiyu, sejak masa belajarnya di Qum hingga 1979, tahun
kesyahidannya. Banyak karyanya ditandai oleh nada dan penekanan filosofis yang
sama dan telah tercatat, dan ia mungkin menganggap sebagai karyanya yang paling
penting Ushul-e-Falsafa wa
Ravish-e-Ri’alism (“Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme”), catatan
tentang ceramah-ceramah Thabathaba’i pada malam majelis malam Jumat di Qum,
dilengkapi dengan komentar-komentar Muthahhari. Namun, ia tidak memilih topik
dari buku-bukunya sesuai dengan kepentingan atau kesukaan pribadi, tetapi
sesuai dengan persepsinya tentang kebutuhan. Kapan pun sebuah buku tidak
memiliki topik vital dalam hal kepentingan Islam kontemporer, Muthahhari
berusaha menyediakannya.
Dengna mudah ia
mulai mengonstruksi unsur-unsur utama dari perpustakaan Islam kontemporer.
Buku-buku seperti Adl-e-Ilahi (“Keadilan
Ilahi”), Nizam-e-Huquq-e-Zan dar Islam (“Hak-hak
Wanita dalam Islam”), Mas’ala-yi Hijab
(“Persoalan Hijab”), Ashna’i ba
Ulum-e-Islam (“sebuah Pengatar kepada Ilmu-ilmu Islam”), dan Muqaddima bar Jahanbini-yi Islami (“Mukadimah
kepada Pandangan Dunia Islam”) semuanya ditunjukan untuk memenuhi suatu
kebutuhan, untuk berkontribusi terhadap pemahaman Islam yang akurat dan
sistematik serta persoalan-persoalan dalam masyarakat Islam.
Buku-buku ini
dapat dianggap sebagai kontribusi yang sangat abadi dan penting bagi lahirnya
kembali Iran Islami, namun aktivitasnya juga memiliki dimensi politik yang
walaupun derajatnya dibawah aktifitas utamanya, tetapi tidak semestinya
dipangadang rendah. Sewaktu masih berstatus pelajar dan calon guru di Qum, ia
telah berusaha keras menanamkan kesadaran politik pada teman-teman sejawatnya
dan yang terutama dekat dengan mereka yang menjadi anggota-anggota Fida’iyan-i Islam, sebuah organisasi
militan yang didirikan pada 1945 oleh Nawwab Safawi. Markas Besar Fida’iyan di
Qum adalah Madrasah Fayziya, tempat Muthahhari sendiri berada, dan ia tidak
berhasil mencegah mereka dipindahkan dari Madrasah tersebut oleh Ayatullah
Burujerdi, yang dengan tegas menantang segala konfrontasi politik dengan rezim
Syah.
Dalam
perjuangan menasionalisasikan Industri Minyak Iran, Muthahhari bersimpati
terhadap upaya-upaya Ayatullah Kasyani (q.s) dan DR. Muhammad Mushaddiq,
walaupun ia mengkritisi Dr. Mushaddiq karena yang bersangkutan menganut
nasionalisme sekuler. Setelah kepindahannya ke Teheran, Muthahhari
berkolaborasi dengan Gerakan Kemerdakaan-nya Bazargan dan Talegani, namun ia
tidak pernah menjadi salah satu figur utama dalam kelompok tersebut.
Konfrontasi
pertamanya yang serius dengan rezim Syah berlangsung dalam pemberontakan 15
Khurdad 1342/6 Juni 1963, ketika ia menunjukkan dirinya secara politik dan
intektual sebagai seorang pengikut Ayatullah Khomeini dengan mendistribusikan
deklarasi-deklarasi Khomeini dan memeberikan dukungan bagi Khomeini dalam
ceramah-ceramah yang ia berikan. Akhirnya, ia pun ditahan dan dipenjara selama
empat puluh tiga hari. Setelah kebebasannya, ia ikut serta secara aktif dalam
berbagai organisasi yang ada guna memelihara momentum yang telah tercipta
melalui pemberontakan tersebut. Yang sangat penting di antara
organisasi-organisasi itu adalah Asosiasi Alim Ulama Militan (the Association
of Militant Religious Scholars). Pada november 1964, Ayatullah Khomeini
memasuki masa 14 tahun pengasingannya, pertama-tama dihabiskan di Turki
kemudian di Najaf. Sepanjang periode ini, Muthahhari tetap berhubungan dengan
Ayatullah Khomeini, baik secara langsung melalui kunjungan-kunjungannya ke
Najaf maupun secara tidak langsung.
Ketika Revolusi
Islam mendekati puncak kemenangannya pada musim dingin 1978 dan Ayatullah
Khomeini meninggalkan Najaf menuju Paris, Muthahhari termasuk diantara
orang-orang yang pergi ke Paris untuk bertemu dan berkonsultasi dengan
Ayatullah Khomeini. Kedekatannya dengan Ayatullah Khomeini ditegaskan melalui
pengangkatannya pada Dewan Revolusi Islam, suatu dewan yang eksistensinya
diumumkan oleh Ayatullah Khomeini pada 12 januari 1979.
Pengabdian-pengabdian
Muthahhari kepada Revolusi Islam secara brutal terhenti melalui pembunuhannya
pada 1 mei 1979. Pembunuhan itu dilakukan oleh sekelompok yang dinamakan
sebagai Furqan, yang mengklaim organisasi mereka sebagai pendukung-pendukung
“Islam Progresif”, organisasi yang konon membebaskan diri mereka dari pengaruh
distortif para ulama. Walaupun Muthahhari tampaknya telah menjadi ketua Dewan
Revolusi Islam pada waktu pembunuhannya, namun ia Syahid sebagai seorang
pimikir dan penulis.
Pada 1972,
Muthahhari menerbitkan buku berjudul Illal-i
Girayish ba Maddigari (Alasan-alasan Berpaling pada Materialisme”). Sebuah
karya yang penting yang menganalisis latar belakang historis dari materialisme
di Eropa dan Iran. Pada waktu revolusi, ia menulis sebuah pengatar untuk edisi
kedelapan buku ini, yang menyerang distorsi-distorsi pemikiran Hafiz dan Hallaj
yang telah menjadi tren hidup dalam beberapa segmen masyarakat Iran dan
membuktikan kesalahan interpretasi-interpretasi materialistik tertentu terhadap
Al-Quran. Sumber interpretasi-interpretasi dimaksud adalah kelompok Furqan,
yang berusaha mengingkari konsep-konsep Al-Quran yang fundamental, seperti
transendensi Ilahi dan realitas akhirat. Sebagaiman selalu dalam hal-hal
demikian, sikap Muthahhari adalah persuasif dan santu, tidak mengumbar
kemarahan dan kecaman. Bahkan, ia mengajak Furqan untuk memberikan respon dan
pihak-pihak terkait lainnya untuk mengomentari yang mereka berikan adalah
pembunuhan dirinya.
Ancaman untuk
membunuh semua orang yang menentang mereka sudah terkandung dalam
publikasi-publikasi Furqan. Dan, setelah penerbitan edisi baru dari ‘Illal-e-Girayish ba Maddigari,
Muthahhari kelihatannya sudah memiliki pertanda atau firasat tentang
kesyahidannya. Menurut pengakuan putranya, Mujtaba, sejenis pelepasan diri dari
urusan-urusan duniawi menjadi tampak padanya. Ia memperhebat shalat-shalat
bacaan-bacaanm Al-Quran. Ia pernah bermimpi bahwa ia berada di hadapan
Rasulullah saw bersama dengan Ayatullah Khomeini (q.s).
Pada selasa, 1
mei 1979, Muthahhari pergi ke rumah Dr. Yahullah Sahabi untuk berkumpul dengan
para anggota lain dari Dewan Revolusi Islam. Sekitar pukul 10.30 malam, ia dan
peserta pertemuan lainya, Insinyur Katita’i, meninggalkan rumah Sahabi. Berjalan
sendiri menuju sebuah gang yang dekat dengan rumah itu dimana mobil yang akan
membawanya pulang di parkit disitu, Muthahhari tiba-tiba mendengar suara yang
tak ia kenal memanggil-manggilnya. Ia memandang sekeliling untuk melihat dari
mana asal suara itu, dan sebutir pelurupun menghantam kepalanya, masuk dibawa
gendang telinga kanan dan keluar diatas alis kirinya. Ia hampir mati seketika.
Walaupun ia dilarikan di rumah sakit terdekat, tidak ada yang dapat dilakukan
kecuali kbar duka cita kematiannya. Tubuhnya tetap berada di rumah sakit hingga
esok harinya. Kemudian pada hari kamis, di tengah-tengah perkabungan yang
meluas di senatero negeri, mayatnya pertama-tama di bawa ke Universitas Teheran
untuk dishalatkan dan kemudian di Qum untuk dikuburkan, bersebelahan dengan
makam Syekh Abdulkarim Ha’iri (q.s).
Ayatullah
Khomeini (q.s) menangis didepan umu ketika Muthahhari dikuburkan di Qum, dan
beliau melukiskan Muthahhari sebagai “putra tercintanya,” dan sebagai “buah
kehidupanku”, serta sebagai “belahan jiwanya.” Namun, dalam euloginya Ayatullah
Khomeini juga menunjukkan bahwa dengan pembunuhan Muthahhari tidaklah berkurang
kepribadiannya dan tidak mengganggu jalannya revolusi:
”Biarlah para pelaku kejahatan mengetahui
bahwa dengan kepergian Muthahhari-kepribadian Islaminya, filsafatnya dan
pengetahuannya, tidak pergi meninggalkan kita. Pembunuhan-pembunuhan tidak
dapat menghancurkan kepribadian Islami dari orang-orang besar Islam... Islam
tumbuh berkembang melalui pengorbanan dan kesyahidan pribadi-pribadinya yang
mulia. Seak turunnya wahyu hingga kini, Islam selalu ditemani oleh kesyahidan
dan kepahlawanan.
Ketokohan dan
peninggalan Ayatullah Muthahhari sudah tentu tak terlupakan dalam Republik
Islam, sedemikian tingginya hingga ketiadaannya hampir sama mengesankan dengan
prestasi-prestasi hidupnya. Ulang tahun kesyahidannya secara reguler
diperingati di seluruh Iran. Beberapa tulisan-tulisannya yang belum sempat
diterbitkan akhirnya dicetak untuk pertama kalinya. Seluruh kumpulan karya
tulisnya kini didistirbusikan dan dikaji dalam skala massif. Dalam kata-kata Ayatullah
Khomeini, sewaktu menjadi Presiden Iran, karya-karya Muthahhari telah berhasil
membentuk “infrastruktur intektual dari Republik Islam”.
Maka itum
upaya-upaya yang sedang berlangsung adalah mempromosikan pengetahuan dari
tulisan-tulisan Muthahhari di luar dunia yang berbahasa Persia juga, dan
Kementrian Bimbingan Islam telah mensponsori penerjemahan karya-karyanya ke
dalam beragam bahasa, seperti Spanyol dan Malayu. Namun, jika Iran revolusioner
terbukti mampu untuk membangun pemerintahan, masyarakat, ekonomi dan kultur
yang Islami secara autentik dan integral. Karena kehidupan Muthahhari
berorientasi menuju suatu sasaran yang melampaui ekspresi final dari sikap
tidak menonjolkan diri.
Referensi : Buku Saku Bimbingan
Untuk Generasi Muda, Shadra Press, 2011. Jakarta
ok.. maksh infonya.. bisa dicoba
ReplyDelete