"Berfilsafat Menjadi Manusia"
Oleh : Aliman Djafar
Berfilsafat berarti memoles daya pikir,imajinasi, dan rasa untuk merengku
suatu pengetahuan sejati dalam payung al-qur’an dan hadist. Manusia dalam
dirinya memiliki dua dimensi yaitu dimensi jasmani dan dimensi rohani. Dimensi
jasmani merupakan sisi dimensi manusia yang berhubungan langsung dengan sifat
materil sedangkan dimensi rohani merupakan sisi manusia yang tidak lagi
berhubungan dengan hal-hal materi, namun dimensi ini berhubungan langsung
dengan sisi kekuatan spiritual manusia yang lahir dari dirinya sendiri.
Berdasarkan dua dimensi ini yang kemudian menjadi neraca kepribadian manusia
dalam menentukan kesejatian dirinya.
Ketentuan kesejatian diri manusia sering diperhadapkan dengan dua kekuatan
yang saling berlawanan yaitu kecenderungan alamiahnya yang bersiafat materi dan
kekuatan akalnya atau dengan kata lain bisa kita katakan antara hawa nafsu
(sisi kebinatangannya) dengan akal(sisi kemanusianya). Kalau manusia lebih
mengutamakan hawa nafsunya maka manusia itu sendiri akan mengalami suatu fase
keterasingan dari jati dirinya sendiri sedangkan kekuatan akal adalah suatu
kekuatan cahaya langit yang menjadi salah satu ciri khas pembeda antara sisi
kebinatangan dan sisi kemanusiaan. Oleh karena, hawa nafsu harus dibatasi dan
dikontrol langsung oleh kekuatan akal itu sendiri. Namun perlu diketahui bahwa
hawa nafsu kita terkadang muncul dari daya tarik imajinasi kita sendiri
dari berbagai hal yang di imajinasikan dari luar, sehingga imajinasi yang tidak
terkontrol dengan baik akan mudah mempengaruhi jiwa yang tidak terorganisir
dengan baik. Maka kita sebagai manusia membutuhkan suatu tempat sebagai
pengkondisian untuk membidik dan mendidik imajinasi kita dibawa kekuatan akal.
Olehnya itu, imajinasi dan rasa harus diorganisir dengan baik oleh kekuatan
akal dan bimbingan wahyu, karena di dalam filsafat islam itu sendiri tidak ada
keterpisahan antara akal dengan wahyu. Maka keduanya yang menjadi acuan kita
dalam mengenal hakikat segalah sesuatu ini. Imam Ali As mengatakan bahwa
kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan di kalahkan oleh keburukan
yang terorganisir dengan baik. Dengan perkataan ini bahwa kita sebagai manusia
tidak hanya mengandalkan kekuatan akal saja, namun akal juga membutuhkan suatu
cahaya dari langit atau dalam bahasa agama akal harus mendapatkan pengetahuan
secara iluminatif dari Tuhan. Sehingga dengan begitu, perpaduan antara
akal dengan wahyu ini yang menjadi salah satu kemestian manusia untuk
mengetahui kapasitas dirinya sendiri serta mampu mengenal esensi dirinya. Sebab
wahyu atau firman Allah itu sendiri menganjurkan kepada manusia untuk mengenal
diri sendiri dengan proses berfikir kedalam diri (jiwa) dengan metode
perenungan (Bertafa’kur). Nabi Saw juga mengatakan dalam sabdanya “Barang siapa
mengenal dirinya, maka dirinya mengenal tuhannya” ungkapan nabi ini sama
seperti ungkapan Ibn Arabi dalam buku Fusus Al-Hikam bahwa “ Barang siapa
menyerupakannya ( mengenal ketasbiannya ) maka dirinya akan mengenal
ketanziannya ( ketunggalannya ).
Kedua ungkapan ini merupakan kemestian yang harus disingkap oleh manusia
dalam mengenal realitas dirinya dan alam semesta serta bahkan tuhan itu
sendiri. Namun perlu diketahui bahwa mengenal diri dan mengenal tuhan adalah
dua realitas yang berbeda, akan tetapi diri kita adalah realitas cerminan
diri-Nya sedangkan diri-Nya adalah realitas nyata yang berbeda dengan diri kita
sendiri. Oleh karena itu, barang siapa yang dirinya hanya mengenal ketasbiannya
dan tidak mengenal ketanziannya, maka dia membatasih dirinya (Tuhan) dan bahkan
tidak mengenal diri-Nya. Maka dari itu, untuk mengenal realitas diri dan
realitas tuhan itu sendiri, maka kita harus menyatuh dan mengenal kedua-duanya
tanpa ada hijab yang menghalagi.
Dalam pembahasan
singkat ini saya mencoba membedakan antara berfilsafat dengan belajar filsafat.
Sebab berfilsafat memiliki makna yang lahir dalam proses perenungan atau dengan
kata lain berfilsafat adalah pengetahuan Hudhurinya sedangkan belajar filsafat
hanya memberikan stimulus saja atau bisa kita sebut sebagai pengetahuan
ushulinya. Oleh karena itu, berfilsafat lebih mengedepankan akal, imajinasi dan
intuisi (rasa) sebagai suatu kekuatan atau sistem yang mampu membawa manusia
kepada suatu pengetahuan sejati. Karena salah satu tujuan dasar dari
berfilsafat yaitu menjadikan manusia sebagaimana manusia.
No comments:
Post a Comment