Wednesday, February 20, 2013

Berfilsafat menjadi manusia



"Berfilsafat Menjadi Manusia"
oleh Ponpes Madrasah Muthahhari pada 23 Januari 2013 pukul 17:41 ·
Oleh : Aliman Djafar

Berfilsafat berarti memoles daya pikir,imajinasi, dan rasa untuk merengku suatu pengetahuan sejati dalam payung al-qur’an dan hadist. Manusia dalam dirinya memiliki dua dimensi yaitu dimensi jasmani dan dimensi rohani. Dimensi jasmani merupakan sisi dimensi manusia yang berhubungan langsung dengan sifat materil sedangkan dimensi rohani merupakan sisi manusia yang  tidak lagi berhubungan dengan hal-hal materi, namun dimensi ini berhubungan langsung dengan sisi kekuatan spiritual manusia yang lahir dari dirinya sendiri. Berdasarkan dua dimensi ini yang kemudian menjadi neraca kepribadian manusia dalam menentukan kesejatian dirinya.
Ketentuan kesejatian diri manusia sering diperhadapkan dengan dua kekuatan yang saling berlawanan yaitu kecenderungan alamiahnya yang bersiafat materi dan kekuatan akalnya atau dengan kata lain bisa kita katakan antara hawa nafsu (sisi kebinatangannya) dengan akal(sisi kemanusianya). Kalau manusia lebih mengutamakan hawa nafsunya maka manusia itu sendiri akan mengalami suatu fase keterasingan dari jati dirinya sendiri sedangkan kekuatan akal adalah suatu kekuatan cahaya langit yang menjadi salah satu ciri khas pembeda antara sisi kebinatangan dan sisi kemanusiaan. Oleh karena, hawa nafsu harus dibatasi dan dikontrol langsung oleh kekuatan akal itu sendiri. Namun perlu diketahui bahwa  hawa nafsu kita terkadang muncul dari daya tarik imajinasi kita sendiri dari berbagai hal yang di imajinasikan dari luar, sehingga imajinasi yang tidak terkontrol dengan baik akan mudah mempengaruhi jiwa yang tidak terorganisir dengan baik. Maka kita sebagai manusia membutuhkan suatu tempat sebagai pengkondisian untuk membidik dan mendidik imajinasi kita dibawa kekuatan akal.
Olehnya itu, imajinasi dan rasa harus diorganisir dengan baik oleh kekuatan akal dan bimbingan wahyu, karena di dalam filsafat islam itu sendiri tidak ada keterpisahan antara akal dengan wahyu. Maka keduanya yang menjadi acuan kita dalam mengenal hakikat segalah sesuatu ini. Imam Ali As mengatakan bahwa kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan di kalahkan oleh keburukan yang terorganisir dengan baik. Dengan perkataan ini bahwa kita sebagai manusia tidak hanya mengandalkan kekuatan akal saja, namun akal juga membutuhkan suatu cahaya dari langit atau dalam bahasa agama akal harus mendapatkan pengetahuan secara iluminatif  dari Tuhan. Sehingga dengan begitu, perpaduan antara akal dengan wahyu ini yang menjadi salah satu kemestian manusia untuk mengetahui kapasitas dirinya sendiri serta mampu mengenal esensi dirinya. Sebab wahyu atau firman Allah itu sendiri menganjurkan kepada manusia untuk mengenal diri sendiri dengan proses berfikir kedalam diri (jiwa) dengan metode perenungan (Bertafa’kur). Nabi Saw juga mengatakan dalam sabdanya “Barang siapa mengenal dirinya, maka dirinya mengenal tuhannya” ungkapan nabi ini sama seperti ungkapan Ibn Arabi dalam buku Fusus Al-Hikam bahwa “ Barang siapa menyerupakannya ( mengenal ketasbiannya ) maka dirinya akan mengenal ketanziannya ( ketunggalannya ).

Kedua ungkapan ini merupakan kemestian yang harus disingkap oleh manusia dalam mengenal realitas dirinya dan alam semesta serta bahkan tuhan itu sendiri. Namun perlu diketahui bahwa mengenal diri dan mengenal tuhan adalah dua realitas yang berbeda, akan tetapi diri kita adalah realitas cerminan diri-Nya sedangkan diri-Nya adalah realitas nyata yang berbeda dengan diri kita sendiri. Oleh karena itu, barang siapa yang dirinya hanya mengenal ketasbiannya dan tidak mengenal ketanziannya, maka dia membatasih dirinya (Tuhan) dan bahkan tidak mengenal diri-Nya.  Maka dari itu, untuk mengenal realitas diri dan realitas tuhan itu sendiri, maka kita harus menyatuh dan mengenal kedua-duanya tanpa ada hijab yang menghalagi.
Dalam pembahasan singkat ini saya mencoba membedakan antara berfilsafat dengan belajar filsafat. Sebab berfilsafat memiliki makna yang lahir dalam proses perenungan atau dengan kata lain berfilsafat adalah pengetahuan Hudhurinya sedangkan belajar filsafat hanya memberikan stimulus saja atau bisa kita sebut sebagai pengetahuan ushulinya. Oleh karena itu, berfilsafat lebih mengedepankan akal, imajinasi dan intuisi (rasa) sebagai suatu kekuatan atau sistem yang mampu membawa manusia kepada suatu pengetahuan sejati. Karena salah satu tujuan dasar dari berfilsafat yaitu menjadikan manusia sebagaimana manusia.

No comments:

Post a Comment